Cari Blog Ini

PERISTIWA MERAH PUTIH DI MANADO

Peristiwa Merah Putih pada 14 Februari 1946 merupakan hari bersejarah bagi masyarakat Manado. Para pemuda yang tergabung dalam pasukan KNIL merebut kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa.

Pada hari itu tangsi militer Belanda di Teling (kini markas Kodam) direbut oleh pemuda Sulawesi Utara. Ratusan tentara dan pejabat Belanda berhasil disingkirkan. Ya, para pemuda itu berhasil menyingkirkan pasukan pemberani andalan militer Belanda.

Peristiwa berlanjut dengan pengibaran sang saka Merah Putih di puncak tangsi. Para pemuda Tomohon, yaitu Tommy Mantow, Kapojos dan Wowiling menurunkan bendera Belanda ada di puncak tangsi. Warna biru pada bendera Belanda dirobek oleh para pemuda asal Paslaten tersebut, sehingga menyisakan dwi warna, merah dan putih, serta mengibarkannya di tangsi.

Di sisi lain, Dr. Sam Ratulangi diangkat sebagai Gubemur Sulawesi dan mempunyai tugas untuk memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi.

BEGINI SEJARAH LAHIRNYA BAHASA INDONESIA

Awal penciptaan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa, bermula dari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Paska kemerdekaan, bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa nasional.

Namun tahukah Anda asal-muasal bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia dikembangkan dari salah satu dialek bahasa Melayu. Sebuah bahasa Austronesia-Melayu-Polinesia yang digunakan sebagai lingua franca atau bahasa pergaulan, di kepulauan Indonesia selama berabad-abad, lalu distandarisasi.

Dalam buku berjudul A-Z Seputar Indonesia yang diterbitkan oleh Kawan Pustaka dijelaskan, proses standardisasi ini telah dilakukan sejak zaman penjajahan Jepang. Awalnya bahasa Indonesia ditulis dengan tulisan Latin-Romawi, mengikuti ejaan Belanda.

Lalu pada 1972, Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dicanangkan. Bahasa Indonesia terus bergerak dan dinamis, serta menyerap kata-kata dari bahasa asing. Contohnya pura, kepala, mantra, cinta, kaca yang diambil dari bahsa Sanksekerta. Masjid, kalbu, kursi, doa, khusus, selamat yang diambil dari bahasa Arab, dan lain sebagainya.

Bahasa Melayu Riau
Presiden Soekarno memang tidak memilih bahasanya sendiri, yaitu bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan. Namun Soekarno memilih bahasa Indonesia yang didasarkan dari bahasa Melayu dari Provinsi Riau, Sumatera dan biasa dituturkan di Riau.

Buku karangan Desi Saraswati berjudul Indonesia Kaya Bahasa yang diterbitkan Pacu Minat Baca menjelaskan, mengapa Soekarno memilih bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia.

Pertimbangannya sebagai berikut:

1. Jika menggunakan bahasa Jawa, suku bangsa atau golongan lain di Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan golongan mayoritas di Indonesia.

2. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan bahasa Melayu Riau. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan bahasa halus, biasa, kasar, dan digunakan berbeda, dari segi usia, derajat, atau pangkat.

3. Pertimbangannya suku Melayu berasal dari Riau dan bahasa tersebut sangat mudah dimengerti dan ekspresif. Selain itu pengucapan dan tata bahasanya cukup mudah.

4. Penggunaan bahasa Melayu tak terbatas di Indonesia, tapi juga di Malaysia, Brunei, dan Singapura. Saat itu negara tersebut masih dijajah Inggris, maka Melayu sebagai bahasa persatuan diharapkan dapat menumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme.

5. Dengan memilih bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bisa bersatu kembali.

Senjata Ini Jadi Bukti Kekuatan Kerajaan Majapahit Memang Disegani Dunia

Selama ini mungkin kita memang tahu nenek moyang kita memang pelaut handal, namun apakah anda juga tahu bahwa nenek moyang kita ternyata adalah pelaut yang memiliki tekhnologi tinggi, khususnya di bidang persenjataan?

Sebuah fakta mengejutkan telah ditemukan dari temuan sebuah meriam kuno di Australia. Memiliki bentuk kecil dan juga praktis, sepintas mungkin kita akan menyangka senjata ini adalah milik bangsa Eropa, yang memang pada era itu banyak melakukan penjelajahan mencari dunia baru.

Namun hasil penelitian ternyata menunjukkan bahwa meriam tersebut berasal dari Nusantara, dan lebih spesifiknya adalah Kerajaan Majapahit. Dikenal dengan nama Cetbang, desain senjata ini membuat geleng-geleng para peneliti dari Amerika dan Eropa. Ternyata meriam berukuran kecil ini memiliki banyak keunggulan dibanding  senjata serupa milik bangsa Eropa yang selama ini dinilai lebih unggul.

Keunggulan pertama Cetbang terletak pada bahannya, tidak seperti meriam eropa yang terbuat dari besi cor dan membuatnya jadi mudah berkarat, meriam yang konon dirancang oleh Mpu Nala dan Patih Gadjah Mada ini terbuat dari perunggu sehingga anti karat dan tahan lama.

Keunggulan berikutnya, terletak pada ruang dan tabung pelurunya. Tabung peluru Cetbang dimasukkan dari bagian belakang meriam, dan dipicu dengan hentakan  atau picu sumbu api, bukan disulut. Sangat berbeda dari meriam eropa yang bola peluru dimasukkan dari belakang dan masih disulut dengan bara api. Desain ini membuat Cetbang menjadi tahan terhadap cuaca. Meskipun hujan badai, meriam asli Indonesia ini masih bisa digunakan dengan baik. Bahkan dinilai model ini menjadi inspirasi bagi pembuatan Bazooka atau RPG modern saat ini.

Dilansir dari VIVA.co.id setiap kapal perang Majapahit bersenjatakan meriam Jawa yang disebut Cetbang Majapahit. Pandai besi yang mengecor meriam itu berada di Blambangan. Cetbang Majapahit adalah karya penemuan Mahapatih Gajahmada yang konon pernah diasuh tentara Mongol atau Tartar yang menyerang kerajaan Singosari dengan kekuatan 1.000 kapal.

Semua jenis kapal perang Majapahit, mulai kapal perbekalan hingga kapal bendera adalah kreasi jenius dari Mpu Nala yang sekaligus seorang laksamana laut yang andal. Nala menciptakan kapal-kapal dari sejenis kayu raksasa yang hanya tumbuh di sebuah pulau yang dirahasiakan. Pohon raksasa dan cocok untuk dibuat kapal itulah yang membuat kapal-kapal Majapahit cukup besar ukurannya di masa itu.

Setelah Majapahit lemah, hanya tersisa armada Jawa yang menguasai perairan Laut Jawa dan jalur laut menuju kepulauan rempah-rempah. Kemudian datang bangsa kulit putih yang tujuan utamanya ialah menguasai daerah penghasil rempah-rempah itu dengan modal kapal-kapal gesit dan lincah, tidak terlalu besar ukurannya dibanding kapal Majapahit.

Kapal asing itu bersenjata lebih unggul meriam yang bisa memuntahkan bola-bola besi dengan jarak tembak lebih jauh daripada kemampuan jarak tembak Cetbang Majapahit.

Meriam kecil (Cetbang) ini disebutkan dalam Prasasti Sekar (Prasasti yang ditemukan di Bojonegoro). Cetbang dibuat di Rajekwesi, Bojonegoro dengan Mesiu yang dibuat di Swatantra Biluluk (ada juga disebut dlm Prasasti Biluluk, soal Pagaraman Biluluk).

Konon disebutkan pula, bahwa senjata ini sangat ditakuti penjajah Belanda, sehingga mereka saat ini berupaya memusnahkan Cetbang yang ada, agar tidak dipakai para pejuang. Kini Cetbang hanya bisa kita temui di Museum New York Amerika Serikat dan Australia.

Inilah sebuah kebanggan dan kebesaran Bangsa kita, yang patut kita ketahui untuk jadi suri tauladan bagi kita Bangsa Indonesia.

SEJARAH PANJANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA



Rabu 15 Februari 2017, sebanyak 101 daerah melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Tetapi tahukah Anda kapan kegiatan memilih pemimpin ini pertama kali dilaksanakan?

Awalnya pilkada di Indonesia telah dilaksanakan sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dengan mekanisme yang berbeda-beda. Perjalanan pelaksanaan pilkada di Indonesia jika dikaji secara histori dibagi menjadi tiga zaman.

Hal ini berdasarkan zaman sebelum Indonesia merdeka sampai memperoleh kemerdekaan. Berikut penjelasan pilkada tiga zaman ini.

~Pilkada zaman Belanda~

Pada zaman Belanda, pengaturan tentang pemerintahan di daerah umumnya dibedakan menjadi dua bagian yang salin terkait satu sama lain. Pertama daerah Jawa dan Madura. Kedua, daerah di luar Jawa dan Madura seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya.

Pembagian wilayah ini dimaksudkan untuk membagi sebagian kewenangan yang dimiliki pusat kepada daerah-daerah. Misalnya di daerah Jawa dan Madura, Belanda mengelompokkan menjadi pangreh dan pamong praja, mulai dari yang posisi tertinggi sampai terendah, yakni gubernur hingga Kepala desa. Namun untuk di luar Jawa dan Madura, pemerintahan daerah agak sedikit berbeda.

Pada zaman Belanda dapat dikatakan bahwa praktik penyelenggaraan pilkada sudah dilakukan dengan cara penunjukan secara langsung. Politik kolonial Belanda dalam menguasai daerah jajahan menerapkan sistem pemerintah daerah yang bertujuan untuk kepentingan mereka.

Untuk tiap-tiap jabatan pemerintahan sebagaimana telah dijelaskan di atas, pilkada dilaksanakan secara tertutup oleh Belanda. Oleh sebab itu, baik untuk daerah Jawa dan Madura atau daerah luar Jawa dan Madura, jabatan-jabatan gubernur, residen, asisten residen dan kontrolir dipegang dan dijabat langsung oleh orang-orang Belanda.

Sedang untuk jabatan-jabatan lainnya seperti camat dan kepala desa diberikan kepada pribumi bangsa Indonesia untuk mendudukinya. Untuk pemilihannya sendiri tentu saja dilaksanakan secara tertutup oleh Belanda. Hal ini terjadi karena tidak ada mekanisme dan persyaratan yang jelas dalam rekrutmen jabatan untuk pemerintahan daerah.

Mekanisme pengisian jabatan dalam tingkat-tingkat pemerintahan zaman Belanda dilakuakn dengan sistem penunjukan langsung oleh Belanda melalui gubernur jenderal. Penunjukan pemimpin kepada pribumi dimaksudkan agar para masyarakat pada saat itu memberikan upeti.

~Pilkada zaman Jepang~

Setelah zaman Belanda berakhir maka Jepang berkuasa atas pemerintahan. Selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, Jepang memaklumatkan tiga undang-undang, yakni tentang perubahan pemerintahan, aturan pemerintahan, dan mengubah nama negeri dan nama daerah.

Pada zaman ini Jepang masih meneruskan beberapa aturan yang sudah dijalankan saat pendudukan Belanda. Jepang hanya mengubah nama daerah serta pejabat yang memerintah di suatu daerah.

Namun, yang membedakannya, Jepang sama sekali tidak memberi kesempatan orang pribumi untuk memimpin. Bahkan gubernur Jawa dan luar Jawa dihapus.

Sistem rekrutmen kepala daerah saat zaman Jepang sangat mengabaikan nilai-nilai demokrasi, transparansi, dan akutabilitas dalam pengangkatan tiap-tiap pejabat yang akan diangkat atau ditunjuk oleh penguasa Jepang. Sistem pengangkatan ini dilakukan secara hierarkis, sama seperti pemerintahan Belanda.

~Pilkada zaman kemerdekaan~

Pemilihan kepala daerah di zaman ini dibagi menjadi tiga era, yakni era Orde Lama, era Orde Baru, dan era Reformasi. Berikut ulasan singkatnya.

Orde Lama
Produk hukum yang melandasi berlakunya sistem pemerintahan daerah dalam orde lama ialah undang-undang. Undang-undang pertama yang diterbitkan pada masa kemerdekaan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.

Undang-Undang ini bermaksud mengubah sifat Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang diketuai oleh kepala daerah. Lalu pada tahun 1948 terbit sebuah undang-undang baru yang menyebutkan bahwa wilayah Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yakni provinsi, kabupaten, dan desa.

Setelah itu pada tahun 1957, Undang-Undang nomor 22 tahun 1948 yang mengatur pembagian wilayah tersebut direvisi. Isinya mengenai pembagian kepala daerah seperti gubernur memimpin daerah tingkat I, bupati/wali kota memimpin daerah tingkat II, dan camat untuk daerah tingkat III.

Selanjutnya, terbitlah Undang-Undang Nomor 18 taun 1965 yang mengatur tentang kependudukan kepala daerah baik sebagai alat pemerintah pusat maupun sebagai dan alat pemerintah daerah. Kepala daerah menjadi pemegang kebijaksanaan politik di daerahnya dengan berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk melakukan pengawasan jalannya pemerintahan.

Orde Baru
Perkembangan politik yang terjadi dalam masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru telah membawa nuansa baru dalam kepemimpinan kepala daerah. Hal ini tentu membawa nuansa baru dalam kepemimpinan kepala daerah yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

Sejak berlakunya undang-undang tersebut, ketentuan pilkada tidak mengalami perubahan berarti. Sebab DPRD masih memegang komando dalam melaksanakan pemilihan dan pencalonan kepala daerah.

Reformasi
Pilkada pada zaman ini merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan daerah yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Pilkada secara langsung muncul sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Pada pelaksanaannya, pilkada secara langsung merupakan hasil dari proses pembelajaran demokrasi di Indonesia. Di era Reformasi sampai saat ini telah terdapat beberapa undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut ialah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah beberapa kali diubah.

Terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

EMPU NALA, SOSOK DIBALIK KETANGGUHAN ANGKATAN LAUT MAJAPAHIT

Kekuatan armada laut kerajaan Majapahit sangat ditakuti pada zamannya. Saat itu kapal-kapal perang Majapahit sudah dilengkapi oleh Cetbang semacam meriam yang sangat ditakuti.

Pada zamannya Cetbang termasuk paling canggih. Pembuatan senjata tersebut diadopsi dari senjata perang milik tentara Mongol.

Saat itu angkatan laut Majapahit dipimpin oleh Laksamana Empu Nala. Meski kemampuannya luar biasa, namun ketenaran Empu Nala ini masih kalah oleh Mahapatih Gadjah Mada.

Dalam berbagai buku sejarah dan dalam berbagai prasasti, nama Gadjah Mada yang selalu muncul. Padahal ternyata, Empu Nala ini tidak kalah hebatnya dengan Gadjah Mada. Jasa-jasanya terhadap Majapahit juga sangat banyak.

Sekitar tahun 1339-1341, seluruh Nusantara bagian barat berturut-turut diserang dan ditaklukkan armada Kerajaan Majapahit, tentunya dipimpinan Laksamana Nala.

Dalam buku Nusantara dalam Catatan Tionghoa karya WP Groeneveldt, saat itu kerajaan yang pertama dihancurkan Majapahit adalah Kerajaan Pasai, selanjutnya Jambi dan Palembang.

Kemudian mereka menaklukkan Langkasuka, Kelantan, Kedah, Selangor, Tumasik (Singapura). Selanjutnya armada Majapahit mendarat di Tanjungpura, menundukkan Sambas, Banjarmasin, Pasir, dan Kutai.

Dalam buku itu juga ditulis, pada 1377, Suwarnabhumi diserbu oleh tentara Jawa. Putera mahkota Suwarnabhumi tidak berani naik tahta tanpa bantuan dan persetujuan kaisar China, karena takut kepada Raja Jawa.

Saat itu, armada Majapahit memiliki kekuatan 40 ribu prajurit. Jumlah tersebut jadi sebuah kekuatan dahsyat dan tidak ada tandingannya di Asia Tenggara.

Pada 1343, Mahapatih Gadjah Mada dibantu oleh Laksamana Nala memimpin armada laut Majapahit dengan kekuatan 3.000 prajurit menuju wilayah timur Nusantara. Di sana mereka menaklukkan kerajaan-kerajaan yang bersikap dingin atau mencoba melepaskan diri.

Kerajaan yang dimaksud adalah Bali, Lombok, Sumbawa, Seram, Sulawesi, Dompo. Seluruh wilayah timur Nusantara telah disatukan, termasuk Pulau Irian, Sanggir Talaud, sampai Kepulauan Filipina Selatan.

Konon rahasia kekuatan laut Majapahit sejak zaman Gajah Mada adalah Empu Nala sebagai panglima tertinggi.

Nama Empu Nala kala itu tersohor dalam membangun angkatan laut, termasuk membuat kapal laut untuk perang. Dia menemukan sejenis pohon raksasa yang dirahasiakan lokasinya. Pohon itu digunakan untuk membangun kapal-kapal Majapahit yang berukuran besar.

MENILIK KEHEBATAN PASUKAN ELIT MAJAPAHIT, 'BHAYANGKARA'

Pada masa kejayaannya, Majapahit menguasai hampir seluruh wilayah nusantara. Bahkan, sejarah mencatat pengaruh Majapahit meliputi Asia Tenggara.

Kesuksesan Majapahit tentunya dipengaruhi oleh kekuatan armada perang mereka. Salah satu faktor utamanya adalah eksistensi sebuah kesatuan elit bernama Bhayangkara.

Dalam Serat Pararaton, kitab tentang mitologi raja-raja Jawa abad pertengahan, diceritakan bahwa pasukan elit Bhayangkara yang dikepalai oleh Maha Patih Gajah Mada yang melegenda.

Pasukan ini pertama kali dibentuk pada masa pemerintahan Raja Jayanagara (1309-1328). Tugas mereka melindungi kerajaan dari serangan luar. Pasukan Bhayangkara ditakuti di medan laga dan disegani di istana.

Kiprah Bhayangkara yang paling terkenal adalah saat pemberontakan Ra Kuti pada 1316 Masehi. Ra Kuti sendiri sejatinya adalah salah satu penglima besar di Majapahit. Malah, Ra Kuti adalah orang kepercayaan raja Majapahit sebelumnya, Raden Wijaya.

Saat pemberontakan ini terjadi, Majapahit berhasil direbut Ra Kuti yang berasal dari daerah Pajarakan (sekarang Kabupaten Probolinggo). Namun, Gajah Mada yang ketika itu memimpin pasukan Bhayangkara berhasil membantu Jayanegara melarikan diri dari ibu kota dan menyembunyikannya dari kejaran pemberontak.

Gajah Mada lalu menyembunyikan raja di sebuah daerah bernama Badander. Dalam administrasi daerah kekinian, nama Badander mengacu pada dua desa di Jawa Timur, pertama Kecamatan Dander di Kabupaten Bojonegoro, dan Desa Bedander di Kabupaten Jombang.

Saat itu, Jayanegara diiringi oleh 15 anggota pasukan Bhayangkara. Lama mereka tinggal di tempat pengungsian di Bedander.

Ketika raja sudah dipastikan dalam kondisi aman, Gajah Mada memutuskan kembali ke Majapahit untuk mencari dukungan dan propaganda.

Gajah Mada secara mengejutkan mendapat kenyataan rakyat ternyata tidak mendukung pemerintahan Ra Kuti. Akhirnya Gajah Mada beserta 15 anggota pasukan Bhayangkara melakukan perang gerilya. Mereka sukses besar, Ra Kuti berhasil dikalahkan.

~Perlengkapan Perang Taktis~

Pasukan Bhayangkara terkenal akan penggunaan perlengkapan perang yang minim, termasuk penggunaan senjata taktis yang tak mengganggu kelincahan pergerakan. Mereka hanya memanfaatkan perlengkapan seadanya seperti pedang, tombak, panah dan tameng.

Untuk keris sendiri tidak disebutkan, karena keris pada masa itu telah dianggap sebagai perlengkapan wajib dalam berpakaian.

Karena pergerakan mereka yang cepat dan senyap, mereka juga tidak menggunakan baju zirah (baju pelindung perang) layaknya pasukan biasa.

MENGUAK KISAH CINTA MAHAPATIH GAJAH MADA

Siapa yang tak kenal dengan sosok Gajah Mada? Mahapatih yang turut mengantarkan Majapahit ke era keemasannya ini merupakan salah satu tokoh terpenting dalam khasanah sejarah nusantara.
Hampir semua orang Indonesia pasti tahu perihal kisah heroik Gajah Mada yang melalui Sumpah Palapanya berjanji menyatukan nusantara di bawah panji Majapahit. Tetapi sayang, sangat sedikit kisah mengenai kehidupan pribadi Gajah Mada yang terekam sejarah.
Faktanya, asal-usul sang mahapatih hingga kini masih menjadi perdebatan. Ada banyak versi yang menceritakan kehidupan masa kecil Gajah Mada. Begitu juga dengan kisah percintaan Gajah Mada yang sama sekali tak tereskpos.
Namun begitu, ada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa Gajah Mada menikah dengan Ni Gusti Ayu Bebed atau dikenal pula dengan nama Ken Bebed. Hal ini dapat terlihat dari penemuan topeng-topeng kuno di Puri Ageng Blahbatuh, Bali.
Topeng-topeng tersebut diyakini berkaitan erat dengan sosok Gajah Mada dan mertuanya, Ki Gusti Pinatih.
Menurut analisis H.H. Noosten dalam artikelnya Topeng-topeng Bersejarah di Pura Panataran Topeng Blahbatuh (Bali), disebutkan bahwa Gajah Mada dinikahkan dengan Ni Gusti Ayu Bebed, putri Ki Gusti Pinatih sekaligus saudara angkat Gajah Mada.
Ken Bebed mempunyai peran yang cukup besar bagi karier Gajah Mada karena koneksi yang dimilikinya. Ayahnya, Ki Gusti Pinatih, adalah salah satu patih yang sangat dihormati di lingkungan petinggi Majapahit era Raja Jayanegara.
Lebih lanjut dijelaskan, Gajah Mada menjalin cinta dengan wanita yang dijodohkan dengannya itu sejak remaja, tepatnya di tanah Madakaripura, Probolinggo.
Gajah Mada sendiri konon memang menghabiskan masa kecil dan remajanya di tempat tersebut. Di Madakaripura pulalah dia belajar ilmu kanuragan dan politik.
Prasasti Aria Bebed yang ditemukan di Desa Bubunan, Kecamatan Sririt, Kabupaten Buleleng, juga menyebutkan kisah Ken Bebed sebagai istri sah Gajah Mada.
Namun menurut prasasti ini, Gajah Mada juga sempat menikah dengan wanita lain putri pendeta Ki Dukuh Kedangan yang bernama Ni Luh Ayu Sekarini. Bahkan, pernikahan tersebut menghasilkan seorang anak.
Anak mereka kemudian diasuh oleh Ken Bebed yang kabarnya tidak bisa memiliki anak. Anak itu kemudian diberi nama Aria Bebed. Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit, Aria Bebed kembali ke Bali dan beranak-pinak di pulau itu.

MENGENAL MALAHAYATI, SOSOK GARANG YANG JADI LAKSAMANA LAUT WANITA PERTAMA DI DUNIA

Namanya mungkin tak setenar Cut Nyak Dien, tapi tokoh wanita asal Aceh ini juga memiliki pencapaian yang sangat mencengangkan. Ya, dia adalah Laksamana Malahayati. Beliau ini tercatat sebagai wanita pertama Indonesia yang pernah jadi pemimpin korps kelautan. Kiprah terbaiknya adalah berhasil bikin ciut nyali Portugis dan Belanda gara-gara kegarangannya.

Tak hanya pernah menjadi perwira tinggi kapal perang, Malahayati juga punya pasukan sendiri yang terdiri dari kaum janda dan para gadis. Bersama para pasukan wanita, sosok pejuang ini makin ditakuti. Pamor seorang Malahayati begitu mentereng kala itu. Orang-orang barat sampai-sampai menyamakannya dengan deretan tokoh wanita kelas dunia.

Lalu seperti apa detail tentang kehidupan dan prestasi sosok satu ini? Ketahui jawabannya lewat ulasan berikut.

~Kehidupan Malahayati~

Malahayati lahir pada akhir abad 15 masehi. Ia merupakan keturunan dari bangsawan Aceh. Jika dilihat dari silsilah, Malahayati termasuk berdarah biru. Ia keluarga asli dari kerajaan Aceh Darussalam.

Ayahnya merupakan seorang Laksamana, demikian pula dengan kakeknya. Mengikuti jejak dua orang laki-laki terdekatnya, Malahayati pun akhirnya menempuh pendidikan militer untuk memperdalam ilmu kelautan di Baital Makdis. Dalam pelatihannya, Malahayati menjadi sosok yang benar-benar luar biasa. Tak hanya itu, di sana pun ia bertemu dengan calon suami yang juga seorang perwira kapal perang.

~Pasangan Pejuang~

Setelah lulus dari akademi, Malahayati pun menikah dengan pujaan hatinya. Tidak diketahui dengan pasti identitas suaminya itu, namun yang jelas ia juga merupakan seorang pahlawan perang. Diketahui, suami Malahayati telah melakoni banyak perang, termasuk salah satunya adalah ketika melawan Portugis di Teluk Haru. Ketika itu pasukan armada Aceh berhasil membuat Portugis menangis.

Namun sayangnya, pertempuran tersebut juga memakan banyak korban dari pihak Aceh sendiri. Setidaknya, ada sekitar seribu tentara tanah Rencong yang gugur dalam pertempuran tersebut. Lebih disayangkan lagi dalam pertempuran ini suami Malahayati juga jadi salah satu korbannya.

~Armada Perempuan Janda~

Sepeninggal suaminya, Malahayati tak terjebak dalam derita. Ia tetap melanjutkan hidup dengan membentuk armada yang terdiri dari para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran melawan Portugis. Dalam armada tersebut, rupanya bukan hanya janda yang tertarik bergabung. Para gadis-gadis muda juga turut ambil bagian.

Armada tersebut pun dikenal dengan nama “Inong Balee” atau berarti perempuan janda. Pangkalannya terletak di Teluk Lamreh Krueng Raya. Mereka memiliki 100 kapal dengan kapasitas 400-500 orang. Masing-masing kapal juga sudah dilengkapi dengan meriam.

~Membunuh Cornelis de Houtman~

Suatu hari, dua kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan Frederick datang mengunjungi Aceh pada bulan Juni 1599. Awalnya, kedatangan tersebut disambut baik oleh Sultan. Namun, setelahnya justru terjadi ketegangan. Konflik timbul hingga akhirnya peperangan melawan Belanda pun terjadi pada September 1599. Saat itu, Malahayati berhasil menghabisi nyawa Cornelis de Houtman.

Setelah peperangan tersebut, hubungan antara Aceh dan Belanda pun tegang. Prins Maurits, seorang pemimpin Belanda berusaha memperbaiki hubungan tersebut. Malahayati yang juga merupakan diplomat pun dikirim untuk melakukan perundingan. Atas keberaniannya, Malahayati pun mendapat gelar Laksamana hingga kini, namanya pun diabadikan sebagai salah satu kapal perang Republik Indonesia.

Ketika masyarakat kekinian sibuk bicara soal emansipasi, Malahayati sejak dulu sudah mendobrak pakem-pakem ala wanita. Ya, alih-alih menerima nasib dengan menghabiskan hidup di kasur, dapur, dan sumur, Malahayati maju dan memimpin perang. Benar-benar sosok luar biasa yang pantas disandingkan dengan tokoh-tokoh kelas dunia.

GATOT SUBROTO, SOSOK SERSAN YANG DIKIRA "GILA"

Namanya lebih diingat banyak orang di Jakarta sebagai nama jalan besar nan ramai dan rumah sakit kelas wahid Indonesia. Bagi mereka yang membaca sejarah Indonesia era revolusi, namanya cukup mulia. “Gatot Subroto merupakan perwira yang disegani banyak kalangan,” tulis Peter Britton dalam Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia (1996).

Bersama Nasution dan Azis Saleh, Gatot Subroto ikut memprakarsai partai yang berisi bekas pejuang bernama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Meski dianggap gila oleh beberapa kolega-koleganya, dan walau tak selama Oerip Soemohardjo berdinas, pengalaman Gatot Subroto sebagai militer sebagai militer juga tergolong lebih panjang, bahkan jauh lebih panjang dibanding Soedirman, Nasution dan Soeharto.
Seabad silam, bocah pribumi ini baru lulus Taman Kanak-Tanak atau Frobelschool. Dia anak dari Sayid Yudoyuwono. Seorang Guru Tweede Inlandsche di Jatilawang. Kala itu, guru sekolah sangat dihormati karena kebanyakan turunan priyayi.

Bocah ini kemudian diterima sekolah di Europe Lagere School (ELS) Banyumas. Sebuah sekolah dasar elit khusus Belanda yang hanya bisa dimasuki segelintir pribumi pada zaman kolonial.

Bocah ini bukan bocah pribumi biasa. Berbeda dengan kebanyakan pribumi yang rendah diri, Gatot sebaliknya. Dia bocah Banyumas sejati. Menurut Ben Anderson, orang Banyumas dan Bagelen termasuk orang-orang yang suka berkelahi.

Meskipun mereka bukan tipikal pembuat onar. Profesi serdadu cocok untuk pemuda-pemuda Bagelen atau Banyumas. Mereka bisa mendaftar di Gombong untuk jadi serdadu di zaman kolonial.

Bocah ini suka juga berkelahi, mirip Oerip Soemohardjo dari Bagelen Purworejo ketika kecil. Beraninya bukan cuma pada bocah lemah, tapi anak-anak Belanda. Terakhir di ELS, bocah ini berkelahi dengan anak Belanda. Tak tanggung-tanggung, menurut saudara sepupunya, bocah ini berkelahi dengan anak dari Residen Banyumas. Bocah ini pun dikeluarkan dari ELS yang elit itu.

Saat itu dia masih kelas IV.
Sekolah dasarnya pun terpaksa diselesaikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Cilacap, yang gengsinya dibawah ELS. Lepas masa bocah dan juga sekolah dasar, dia tak mau sekolah lagi. Menurut Moh Oemar, yang menulis biografi Jenderal Gatot Subroto (1976), bocah bernama Gatot Subroto ini lulus tahun 1927. Kala itu, sekolah dasar terbaik di Indonesia harus ditempuh 7 tahun. Seringkali usia siswa ketika baru masuk di atas tujuh tahun, bahkan lebih.

Remaja bernama Gatot Subroto ini memilih bekerja. Dia sempat bekerja di kantor. Tak betah berlama-lama dia keluar dan akhirnya masuk militer. Gatot mulai masuk Kaderschool di Magelang sejak Desember 1928. Gatot yang keras kepala dan suka berkelahi itu pernah masuk sel provost ketika masih bau kencur di dunia militer. Sebagai lulusan HIS, Gatot bisa jadi kopral atau Sersan. Ayahnya yang priyayi tak suka dengan pilihan Gatot masuk militer kolonial yang disebut Koninklijk Nederladsch Indiesche Leger (KNIL). Meski sebagai sersan nantinya gajinya terbilang bagus, tetapi profesi militer adalah profesi hina di zaman kolonial. Menurut Budiardjo dalam biografinya, Siapa Sudi Saya Dongengi (1996), gaji sersan KNIL jelang 1940 setidaknya 60 Gulden.

Pada tahun 1930an, Gatot adalah Sersan kelas dua atau Sersan Dua. Selesai pendidikan, dia dikirim ke Padang Panjang, Sumatera Barat.

Kira-kira lima tahun Gatot berdinas di Bumi Rendang tersebut. Sekitar tahun 1934, Gatot mendapat latihan kepolisian lalu ditempatkan di unit Marsose di Jatinegara. Unit tersebut adalah pasukan militer khusus yang sering dibekali tugas kepolisian.

Gatot pernah juga ditempatkan di daerah Bekasi dan Cikarang. Di daerah tersebut kekuasaan tuan tanah menyengsarakan rakyat jelata tak bertanah. Tak jarang terjadi kerusuhan. Setelahnya, rakyat perusuh itu dipenjarakan. Gatot, dengan sebagian gajinya, sering membantu keluarga perusuh yang dipenjarakan itu.

Gatot, di mata komandan-komandannya, bukanlah seorang sersan yang loyal. Kepada mereka, Gatot bukannya menunduk, tapi tetap keras kepala. Seorang komandannya menjuluki Gatot sebagai Sersan Gila.

Jelang masuknya Jepang, Gatot dikirim ke Ambon. Daerah itu sasaran terdekat Armada Laut Jepang. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya KNIL dibungkam balatentara Jepang. Tak ada kewajiban bagi Gatot untuk mati demi Ratu Belanda. KNIL hanya dunia yang harus dijalaninya sebagai pemuda keras kepala.

Begitu KNIL tercerai-berai, Gatot dan serdadu pribumi lain kabur dari pos mereka, karena Belanda sudah kalah.

Seragam mereka tanggalkan lalu naik kapal kayu ke Makassar. Waktu singgah di Makassar, Gatot ziarah ke makam Pangeran Diponegoro, yang tak jauh dari Pelabuhan. Dari Makassar Gatot menumpang kapal ke Jawa. Lalu pulang ke rumah orangtuanya di Banyumas. Dia disambut dengan syukuran keluarga. Karena tak ada kabar bahkan dikira sudah mati dalam Front Pasifik.

Setelah jadi vrijman atau preman atau orang sipil, Gatot kemudian dipercaya Bupati Banyumas, Gandasubrata, untuk menangani ketertiban sebagai Kepala Polisi. Di masa pendudukan Jepang, Gatot bergabung dengan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) pada 1943. Setelah mengikuti latihan enam bulan sebagai Chudanco (komandan kompi), dia kembali ke tanah kelahirannya lagi. Di Daidan (Batalyon) PETA Sumpyuh, Banyumas. Kolonel Soesalit, anak tunggal Pahlawan Nasional Kartini, jadi komandan Daidan tersebut. Setelah menjalani masa menjadi Chudanco, Gatot pun naik menjadi Daidanco (komandan batalyon) juga.

Di awal kemerdekaan, batalyon PETA yang dipimpinnya ikut masuk ke Tentara Keamanan Rakyat. Gatot pernah menjadi Panglima Divisi 2/Gunung Jati. Komandan Polisi Militer. Dia pernah menjadi Panglima di Indonesia Timur. Di masa Revolusi, dia pernah berpangkat Mayor Jenderal, tetapi karena turun lagi menjadi Kolonel, ketika ada penurunan pangkat besar-besaran bagi semua anggota TNI. Pada 1953, Gatot mundur dari ketentaraan dan tinggal di Ungaran. Dia sering pergi berburu di hutan.

Namun, Gatot dipanggil kembali pada 1956 untuk menjadi Wakil KSAD. Pangkat Terakhirnya Letnan Jenderal. Sebagai serdadu dia bisa tampil berangasan. Gatot dikenal sebagai komandan yang dekat dengan bawahan. Ada kalanya dia suka memanggil bawahannya: monyet.

“Gatot Subroto terkenal mudah bergaul dengan bawahan-bawahannya, akan persahabatannya yang kasar dan keras. Kekerasan dan kesukaannya menggunakan kata-kata mesum, meningkatkan reputasinya sebagai seorang komandan pasukan infanteri yang efektif,” tulis Peter Britton berdasar pengakuan Brigadir Jenderal Suprapto, seperti ditulis dalam Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia (1996).

Sebagai mantan sersan, dia tak pernah berhenti untuk dekat dengan para bawahannya, yang sering kali dipanggilnya: monyet. Sosoknya tak hanya bisa ditemukan di buku-buku sejarah, tapi juga di film Kereta Api Terakhir (1981). Dengan dialek ngapak atau Banyumasan, berkali-kali Gatot menyebut kata monyet kepada bawahan-bawahannya. Film itu menggambarkan suasana revolusi di Banyumas ketika pangkat Gatot masih Kolonel dan menjabat Panglima Militer di daerah tersebut. Monyet pun jadi sebutan untuk calon prajurit taruna (capratar) di Akademi Militer.

KISAH PARA PENCULIK DALAM GAGALNYA REVOLUSI G30S

Pada apel malam 30 September 1965 itu, Letnan Satu Dul Arif hanya bisa memperoleh 60 anggota Cakra saja untuk dilibatkan dalam gerakan yang dipimpin oleh Letkol Untung.

Kesemuanya berasal dari Batalyon 454 Banteng Raider, yang merupakan pasukan raider di wilayah KODAM Diponegoro.

Pasukan ini pernah dikomandani Untung saat operasi pembebasan Irian Barat.

Pasukan itu kemudian dimasukkan ke dalam Resimen Cakrabirawa, pengawal Presiden Soekarno, sebagai Batalyon Kawal Kehormatan II Cakrabirawa, di mana Untung memimpin lagi pasukan ini.

Ke-60 Cakra itu dilibatkan dalam pasukan Pasopati yang dipimpin oleh Dul Arif. Selain ke-60 Cakra, terdapat juga pasukan dari Brigif 1 KODAM Jaya yang dipimpin Kolonel Latief. Pasukan Pasopati bertugas menculik para jenderal Angkatan Darat. Dari tujuh jenderal sasaran, pasukan ini hanya mendapatkan enam, yakni Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT Haryono, Mayor Jenderal S Parman, Brigadir Jenderal Soetoyo Siswomihardjo, dan Brigadir Jenderal DI Pandjaitan.

Mereka gagal mendapatkan Nasution dan hanya membawa ajudannya yang masih muda dan mirip Nasution. Semua dibawa ke Lubang Buaya, Cililitan, hidup atau mati. Ahmad Yani dan Pandjaitan termasuk yang tak bernyawa ketika sudah di Lubang Buaya.

Di antara ke-60 Cakra itu, ada prajurit bernama Bungkus. Seperti Dul Arif dan Pembantu Letnan Dua Djaharup, Bungkus berasal dari daerah Tapal Kuda di Jawa Timur yang kental budaya Maduranya.

Bungkus awalnya adalah pejuang dalam pasukan Andjing Laut di Jawa Timur. Setelah 1949, Bungkus pernah dikirim melawan Republik Maluku Selatan di Buru. Belakangan, pasukannya dimutasi ke Jawa Tengah, kemudian pasukannya menjadi pasukan pemukul andalan Banteng Raider.

Di sinilah letak ironinya: Ahmad Yani yang diculik sebagian anggota Cakra itu adalah pendiri pasukan Banteng Raider, kesatuan asal ke-60 Cakra tersebut. Yani membentuk pasukan itu di Jawa Tengah ketika hendak mengatasi pemberontakan DI/TII Amir Fattah. Pasukan itu diberi keterampilan khusus antigerilya.

Pasukan ini dibentuk setelah Yani menjalani latihan di Magelang dan sebelum ia diterjunkan melawan DI/TII. Selanjutnya, pasukan ini berkembang menjadi hingga 2 batalyon. Salah satunya kemudian menjadi Batalyon 454 di Srondol. Pasukan ini diberi kualifikasi sebagai pasukan penerjun. Ketika Untung menjadi Komandan Batalyon 454, batalyon ini dikirim ke operasi pembebasan Irian Barat, di mana Untung sebagai komandan mendapat Bintang Sakti.

Sebelum Untung, Ali Ebram yang dianggap terlibat pengetikan Supersemar pernah juga jadi Komandan Batalyon 454, pada 1961-1963. Begitu pula Letnan Kolonel Sugiyono, korban 1965 di Kentungan. Ia pernah memimpin batalyon ini dari 1954 hingga 1957. Ia dianggap komandan kedua setelah Kapten Hardoyo. Yasir Hadibroto, orang yang terlibat dalam kematian Ketua CC PKI, Dipa Nusantara Aidit, juga pernah jadi komandan keempat, 1959-1960.

~Untung Yang Bernasib Buntung~


“Kami jumpai kawan-kawan kelompok pimpinan militer pada malam sebelum aksi dimulai, dalam keadaan sangat letih disebabkan kurang tidur. Misalnya: kawan-kawan Untung tiga hari berturut-turut mengikuti rapat-rapat Bung Karno di Senayan dalam tugas pengamanan,” tulis Soepardjo dalam tulisannya soal kegagalan G30S, seperti dilampirkan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008). Koordinasi gerakan terhadap yang mereka sebut Dewan Jenderal pun kacau. Bahkan ada perwira-perwira yang semula ikut dalam rapat-rapat sebelum gerakan mulai mengundurkan diri.

Setelah 1 Oktober 1965, dan gerakannya berantakan, Untung lebih banyak diam. Di rumah Anis Sujatno, Sersan AURI yang terjebak G30S dalam kesaksiannya di persidangan Untung, Untung hanya berdiam di ruang makan dari siang hingga sore. Jelang senja, sekitar pukul 05.30, Untung akhirnya bicara pada Anis, hendak meminjam pakaian sipil. Untung akhirnya menghilang dan muncul di Tegal pada 11 Oktober 1965. Dia hendak menuju Komando G30S di Jawa Tengah.

Seandainya bersikap tenang dan tidak lompat dari bis setelah melihat tentara, Untung barangkali tidak akan bernasib apes. Sekali lagi, setelah di Lubang Buaya, Untung sial lagi. Orang-orang yang melihatnya melompat mengira dia copet yang habis mencopet di bus tersebut. Sialnya Untung salah lompat. Dia menerjang tiang listrik. Setelahnya dikeroyok hingga babak belur.

Setelah dipermak massa hingga babak belur, Untung bukannya ditangkap polisi kombatan macam Brimob atau Polisi Militer. Untung digiring Pertahanan Sipil (Hansip). Penerima Bintang Sakti, atas jasanya dalam perebutan Irian Barat itu, tidak gagah lagi, meski dirinya berusaha bersikap layaknya seorang perwira.

”Letkol Untung, pimpinan Dewan Revolusi, tetap memperlihatkan gengsinya sebagai perwira, meskipun pakaiannya sudah lusuh dan hanya mengenakan sendal jepit. Ketika ditanya interogator tentang jabatan apa nanti di pemerintahan yang bakal dia dapat jika PKI menang, Untung mengatakan dengan sikap tegas bahwa pertanyaan interogator itu tidak relevan. karena itu ia tidak mau menjawab. Padahal di ruangan itu sebuah aula, penuh dengan tahanan PKI yang sedang diperiksa sambil dipukuli dan dibentak-bentak. 

'Suaranya hiruk pikuk,' jawabnya sambil senyum," Misbach Yusa Biran menulis tentang Untung dalam Kenang-kenangan Orang Bandel (2009).

Untung akhirnya diadili dan dihadiahi vonis mati pada 6 Maret 1966. Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat membubuhkan tandatangan surat eksekusi esok harinya, pada 7 Maret 1966. Untung mencoba meminta grasi kepada Presiden Soekarno yang mulai pincang kekuasaannya pada April 1966, dan permohonan itu ditolak oleh Mahkamah Agung. Padahal Untung meyakini Soeharto akan menolongnya. 

Kematian pun menyapa Untung alias Kusman yang bernasib buntung.

KISAH JENDERAL SOEDIRMAN BERKELILING BANYUWANGI-BALI DITERBANGKAN PILOT JEPANG

Ada kisah suatu ketika Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Soedirman jalan-jalan melihat beberapa wilayah Jawa Timur hingga Bali dengan sebuah pesawat. Pesawat tua dengan dipiloti (orang) Jepang dari Pangkalan Bugis (kini Lanud Abdurrahman Saleh) Malang.

Begini ceritanya...
Di suatu hari tanggal 27 April 1946, Pangsar Jenderal Soedirman dengan ditemani beberapa pejabat militer dan sipil di Malang dalam rangka inspeksi pemulangan serdadu Jepang, sekaligus beliau mengunjungi Pangkalan Bugis.

Pangkalan ini berada di bawah naungan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Udara Malang pimpinan Lettu Imam Soepeno sebagai ketuanya dan Lettu Hanandjoeddin yang menjabat Komandan Pertahanan Teknik Udara, sekaligus kepala Hanggar I.

Pangkalan ini sering terdengar capaian-capaian positifnya hingga ke telinga Jenderal Soedirman, lantaran tergolong sangat baik dalam merenovasi dan memperbaiki sejumlah alutsista udara peninggalan Jepang.

Dengan senyum bangga, Pak Dirman melihat-lihat hanggar yang terdapat sederetan pesawat-pesawat Cukiu dan Pesawat Pangeran Diponegoro I dan II. Saat melihatnya, Pak Dirman seketika berkeinginan menjajal salah satu pesawat itu.

Yang dipilih adalah Pesawat Pangeran Diponegoro I. Pesawat yang aslinya merupakan pesawat pembom ringan peninggalan Jepang jenis Shoki Ki-48.

Pesawat dengan kecepatan maksimal 510 km/jam itu di masa Perang Pasifik, acap disalahartikan sebagai Pesawat Messerschmitt Me-109 milik Jerman saking miripnya. Ditambah lagi karena memang motor pesawatnya berlisensi Daimler DB-601A buatan Jerman
Penamaan Pesawat Pangeran Diponegoro I itu sendiri dicetuskan Lettu Imam Soepeno. Uji terbangnya sendiri setelah mengalami beberapa perbaikan, dilakukan seorang pilot (orang) Jepang yang sudah mengubah namanya jadi Atmo.

Atmo jadi satu dari beberapa pilot Jepang yang memilih bertahan di Indonesia pasca-Perang Dunia II. Mereka bersedia jadi pilot penguji pesawat dengan jaminan perlindungan dengan status penerbang Indonesia dari Panglima Divisi VII Surapati Jenderal Mayor Imam Soeja’i.

Nah kembali ke soal Pak Dirman ingin mencoba Pesawat Pangeran Diponegoro I, sebagaimana dikutip buku ‘Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H AS Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI’ karya Haril M Andersen, sang Panglima besar bertanya, siapa yang sudah mengujicobakan pesawat tersebut.

“Siap Panglima Besar! Penerbang Atmo yang sudah mengujicobanya,” jawab Jenderal Mayor Imam Soeja’i.
“Kalau begitu, saya minta Atmo untuk menerbangkannya lagi. Saya mau coba naik pesawat ini,” timpal Jenderal Soedirman.

Saat dipanggil, Atmo bersama teknisi Mochammad Usar sebagai pendamping, barulah Jenderal Soedirman tahu bahwa dia akan dipiloti eks penerbang Jepang. Kendati begitu, tak ada niatan Pak Dirman batal terbang dan tetap menaruh percaya pada sang pilot.

Pesawat itu pun take off atau lepas landas dengan lancar. Dari penuturan Atmo dan Usar selepas terbang, disebutkan bahwa Pak Dirman meminta mereka menerbangkan pesawat berkeliling di atas Kota Banyuwangi, lalu ke langit Bali, lantas kembali ke Pangkalan Bugis.

Pesawat pun landing atau mendarat kembali dengan mulus. Wajah-wajah tegang perwira lainnya yang menunggu di landasan, mencair setelah melihat kepuasan Pak Dirman setelah keluar dari pesawat.

IRAWAN SOEJONO, PEJUANG JAWA YANG MELAWAN NAZI SAMPAI AKHIR HAYAT

Meski bukan memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air, namun pria asal Indonesia ini mungkin satu-satunya pejuang yang berperang melawan kekejaman Nazi di Belanda. Namanya Irawan Soejono, seorang pelajar Indonesia yang saat itu sedang menimba ilmu di negeri kincir angin sejak tahun 1934.


Walaupun bukan negaranya, melihat kekejaman penjajah di depan mata, membuatnya tidak tinggal diam untuk melawan. Soejono memulai pergerakannya lewat sebuah organisasi muda di Belanda, dan apa yang dilakukannya pun sedikit banyak membawa pengaruh besar.


Nazi mulai masuk ke Belanda di tahun 1940-an dan saat itu Irawan sudah sangat dikenal di kalangan kampusnya. Bahkan dia adalah salah satu anggota kepercayaan di Perhimpunan Indonesia, sebuah organisasi yang berisikan para pemuda Indonesia di Belanda.


Ketika Nazi meletuskan perang, Irawan dan kawan-kawan pun mulai melakukan banyak pergerakan untuk membantu Belanda. Ia pernah menjadi orang yang menangkap dan menyebarkan pesan-pesan sekutu lewat radio dan surat kabar bawah tanah.


Ia bertanggung jawab atas berbagai alat-alat yang memungkinkan untuk digunakan untuk menyebarkan pesannya. Karena tugas besar tersebut membuatnya menjadi incaran utama para tentara Nazi jika pesan-pesan tersebut sampai bocor.


Tidak hanya melakukan perlawanan di bawah tanah, Irawan juga beraksi nyata dengan mengangkat senjata dan bergabung dalam kelompok bersenjata. Meski tidak begitu detail bagaimana perlawanannya, namun diceritakan Irawan harus melakukan baku tembak saat membawa peralatan cetak surat kabarnya.

Irawan dan kelompok bawah tanahnya saat itu semakin gencar mencetak dan menyebarkan berita-berita soal Nazi ke seluruh negara Belanda, sampai-sampai Nazi dibuatnya geram. Alhasil ia pun harus berhati-hati karena pergerakannya sudah mulai terendus oleh Nazi.


Ia pun akhirnya ditangkap saat membawa salah satu mesin cetaknya. Namun Irawan ternyata tidak dibiarkan lolos begitu saja oleh Gestapo, polisi rahasia Nazi.


Aksi kejar-kejaran pun terjadi hingga beberapa peluru menembus dada Irawan dan akhirnya ia harus meninggal saat itu juga. Irawan meninggal pada 13 Januari 1945 di Leiden pada usia 23 tahun.


Atas perjuangan dan pengorbanan Irawan, Belanda menamai salah satu jalan di Osdorp, Amsterdam dengan Irawan Soejonostraat (Jalan Irawan Soejono) tahun 1990.

Ketua PD XIII GM FKPPI Saksikan Laga TNI vs POLRI Di Laga Piala Presiden Grup B

TRIBUNUS-ANTARA.COM | MALANG, Laga pertama pertandingan sepak bola antar PS.TNI versus PS.Bhayangkara di stadion Kanjuruhan Sabtu, 11/2 pukul 15.15 Wib. berlangsung seru.  Danrem 083/Bdj menyaksikan langsung di stadion Kanjuruhan-Kepanje Kabupaten Malang, laga pertama pertandingan sepak bola putaran kedua piala presiden di group B antara PS. TNI melawan PS. Bhayangkara.

Suasana penuh keakraban terlihat saat nonton langsung pertandingan sepak bola PS. TNI vs PS. Bhayangkara di stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang, Kolonel Arm Budi Eko Mulyono, S.Sos., M.M. Danrem 083/Bdj didampingi Kapolres Kabupaten Malang AKBP Yade Setiawan Ujung, SH, SIK, MSi dan Kapolres Malang Kota AKBP Decky Hendarsono, S.IK di tribun utama menyaksikan klub kesayangannya berlaga pada sore itu.

Didukung supporter dari masing-masing kesatuan militer dan instansi kepolisian di wilayah Malang, dipastikan prediksi pertandingan sore ini akan sangat seru dikarenakan kedua kesebelasan pada leg pertama masing-masing kalah oleh lawan tandingnya sehingga keduanya harus main ngotot untuk menang agar merebutkan posisi delapan besar.

Tentunya dibutuhkan sportifitas dalam pertandingan ini agar pertandingan 2 X 45 menit berjalan lancar dan kondusif hadir pula pada pertandingan sepak bola tersebut Pangdivif-2 Kostrad Mayjen TNI Benny Susianto, S.Ip., dan Ketua Umum Pengurus Daerah (PD) XIII GM FKPPI Jawa Timur, R Agoes Soerjanto (Pen083)

editor: nugroho tatag

4 JENDERAL INI PUNYA PRESTASI YANG BIKIN BANGGA RAKYAT INDONESIA

Membicarakan hal-hal yang berbau militer khususnya di Indonesia, rasanya seperti tidak bisa berhenti untuk bangga. Bagaimana tidak, prestasi dan kehebatan angkatan militer kita memang sangat mentereng. Bahkan beberapa nama seperti Den Jaka, Den Bravo, Kopaska dll memang sudah diakui kehebatannya.

Nah, kalau lebih dikerucutkan lagi dari angkatan militer negeri ini. Kita masih bisa berbangga lantaran di sana terdapat jenderal-jenderal yang kiprahnya luar biasa. Terlebih tentang apa yang mereka perjuangkan dan dampaknya bagi rakyat yang memang sangat terasa. Jenderal di Indonesia ini sangat banyak jika dihitung dari masa perjuangan dulu. Semuanya hebat namun hanya beberapa saja yang paling mencolok di antara yang lain.

Nah, berikut adalah jenderal-jenderal yang kiprahnya paling hebat dan sukses bikin bangga rakyat Indonesia.

1. Soedirman

Tampilannya sama sekali tidak perlente, hanya mengenakan pakaian dinas seadanya lengkap dengan pecinya yang lusuh itu. Namun ia begitu dihormati bahkan oleh Soekarno. Ya, sosok ini adalah Jenderal Soedirman. Sang jenderal satu ini bisa dibilang adalah yang terbaik sepanjang sejarah Indonesia berkat perjuangannya yang mati-matian dalam membela bangsa ini.

Membahas kiprah Soedirman maka sudah pasti tentang bagaimana ia menghadapi sekutu yang kembali lagi ke Indonesia setelah Soekarno memproklamirkan kemerdekaan. Banyak sekali perang yang dihadapinya untuk mempertahankan bangsa mulai dari Agresi Militer I dan II, Palagan Ambarawa, dan juga Serangan Umum 1 Maret 1949.

Namun yang paling ikonik dari semua perjuangan ini adalah bagaimana sang jenderal melakukan perang gerilya. Dengan kesehatan yang menurun karena tuberculosis, sang jenderal harus ditandu masuk keluar hutan dan gunung dalam rangka mempertahankan kedaulatan. Soedirman ingin berhasrat untuk terus memimpin perang namun kesehatannya tak memungkinkan untuk itu. Namun hal ini membuat namanya makin harum karena kehandalan strategi yang dilakukannya di balik layar.

Jenderal Soedirman adalah sosok yang keras kepala dan susah diatur menurut elit politik saat itu. Namun hal tersebut justru jadi poin plus dimana berkat kegigihannya Indonesia bisa diakui kedaulatannya. Hingga pada akhirnya perjuangan sang jenderal berbuah manis ketika Belanda sudah benar-benar mengakui kedaulatan NKRI. Sayangnya, ia harus berpulang setelah hanya sebulan merasakan nikmatnya kemerdekaan bangsa yang sesungguhnya.

2. Abdul Haris Nasution

Sama seperti Jenderal Soedirman, AH Nasution berawal dari seorang guru. Ketika itu ia mengajar di Bengkulu dan Palembang. Ia sendiri besar dengan didikan Islam dari sang ayah yang merupakan anggota Sarekat Islam. Awal mula Nasution masuk ranah militer adalah ketika Belanda melakukan rekrutmen tentara lantaran ketika itu mereka tengah kelimpungan menghadapi Nazi Jerman.

Jabatan Nasution makin naik seiring prestasi yang terus ditorehkannya. Selama karirnya di kemiliteran, Nasution sudah memberikan banyak sumbangsihnya. Dua hal yang paling fenomenal adalah pencetusan dwi fungsi ABRI serta membuat dasar-dasar taktik gerilya. Dua hal ini pada akhirnya membuatnya dipuji dan dihujat. Dwi Fungsi ABRI membuatnya dikecam di masa orde baru sedangkan taktik perang gerilya yang disusunnya menjadi buku pedoman yang dipakai sebagai acuan. Bahkan beberapa negara seperti Amerika dan China ikut mempelajari hal ini.

Kejadian yang tak bisa dilupakan dari sosok AH Nasution adalah ketika ia bisa lolos dari peristiwa G30S. Sayangnya, hal tersebut justru membuat putrinya Ade Irma Suryani dan salah satu ajudannya Pierre Tandean meninggal dunia. Sosok yang sangat sederhana, disiplin dan relijius ini meninggal pada September tahun 2000 lalu.

3. T.B. Simatupang

Namanya jadi jalan di banyak kota besar di Indonesia. Namun jarang sekali yang bisa menjawab ketika ditanya apa saja hal-hal hebat yang pernah ditorehkan jenderal pengganti Soedirman ini.

Simatupang lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya seorang tukang pos sedangkan ibunya hanya wanita rumah tangga biasa. Hidup sederhana ini makin terasa ketika di masa kecilnya Simatupang harus berbagi dengan tujuh orang saudaranya yang lain.

Meskipun lahir di keluarga sederhana, Simatupang mendapatkan pendidikan yang sangat layak. Tercatat ia lulus dari berbagai sekolah dan akademi. Mulai dari HIS di Pemantangsiantar, MULO di Taruntung, dan AMS di Jakarta. Karir kemiliterannya dimulai ketika ia masuk KNIL buatan Belanda dan lulus tepat sekali ketika Jepang mulai menjajah Indonesia.

Tak banyak kiprah Simatupang di masa penjajahan Jepang, namun ketika mempertahankan kedaulatan setelah proklamasi perannya begitu mentereng. Tercatat ia pernah berjuang menghadapi Belanda yang kembali datang setelah Indonesia merdeka. Di usia yang masih sangat muda, ia bahkan sudah menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI untuk setahun kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Perang RI. Karirnya makin naik ketika ia diangkat sebagai penasihat militer.

Selain karir militer, Simatupang juga aktif di gereja. Selama hidupnya sosok satu ini menjadi orang penting di banyak dewan gereja. Bahkan levelnya sudah mendunia. Tak cuma itu, pada tahun 1969 ia pernah mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Tulsa, Oklahoma.

4. Soeharto

Terlepas dari citra buruk yang ditinggalkannya, sosok Soeharto harus diakui sangat berjasa bagi tumbuh kembang bangsa Indonesia. Tak hanya perannya ketika menjabat sebagai orang tertinggi di negeri ini, tapi juga di kemiliteran. Seperti yang kita tahu, sosok satu ini perannya begitu fenomenal dengan menumpas banyak sekali pemberontakan dan juga perang-perang penting.

Karir kemiliteran Soeharto diawali dari lulusnya ia sebagai yang terbaik Sekolah Militer di Gomgbong, Jawa Tengah. Posisinya makin naik ketika ia konsisten jadi yang terbaik di angkatan militer mana pun. Mulai dari KNIL Belanda sampai PETA-nya Jepang.
Soeharto memang seorang tentara yang cerdas. Ia bisa mengeksekusi instruksi yang diberikannya dengan sempurna. Termasuk instruksi Jenderal Soedirman dalam Serangan Umum 1 Maret yang berhasil merebut kembali Yogyakarta dari Belanda. Namun prestasi paling fenomenalnya adalah ketika ditugaskan dalam pembebasan Irian Barat dan menumpas PKI sampai ke akarnya.

Karirnya sebagai presiden juga tidak terlalu buruk. Di masanya, banyak sekali dilakukan pembangunan-pembangunan serta program-program yang pro rakyat. Keamanan dan ketertiban juga jadi hal yang sangat bisa dirasakan pada zamannya. Sayangnya, dugaan korupsi hingga krisis ekonomi, menyebabkan kejatuhan Soeharto. Selepas turun sebagai pemimpin negara ia pun hidup tenang bersama anak-anaknya. Hingga akhirnya meninggal pada bulan Januari 2008 karena gagal organ multifungsi.

Pujian tertinggi patut disematkan kepada tokoh-tokoh ini. Tanpa mereka, mungkin masyarakat Indonesia tak tahu tentang arti perjuangan. Tanpa mereka pula kita mungkin akan masih merasakan tidak enaknya dijajah bangsa asing. Sehingga tak salah jika ada ujaran yang mengatakan, tak perlu meneladani tokoh-tokoh dunia karena bangsa Indonesia sudah memiliki putra-putra terbaik untuk dijadikan contoh nyata bagi kehidupan.

Harapannya, mudah-mudahan akan lahir tokoh-tokoh hebat seperti mereka di masa depan. Sehingga bangsa ini pun akan makin disegani, tidak dianggap sebelah mata dan ikut pula membawa kebaikan bagi dunia.

Sejarah Bekasi tempo dulu

Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri, itulah sebutan Bekasi tempo dulu sebagai Ibukota Kerajaan Tarumanagara (358-669). Luas Kerajaan ini mencakup wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor hingga ke wilayah Sungai Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan fisiologi, leatak Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri sebagai Ibukota Tarumanagara adalah di wilayah Bekasi sekarang.

Dayeuh Sundasembawa inilah daerah asal Maharaja Tarusbawa (669-723 M) pendiri Kerajaan Sunda dan seterusnya menurunkan Raja-Raja Sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragumulya (1567-1579 M) Raja Kerajaan Sunda (disebut pula Kerajaan Pajajaran) yang terakhir. Wilayah Bekasi tercatat sebagai daerah yang banyak memberi infirmasi tentang keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau.

Diantaranya dengan ditemukannya empat prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Kebantenan. Keempat prasasti ini merupakan keputusan (piteket) dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi, Jayadewa 1482-1521 M) yang ditulis dalam lima lembar lempeng tembaga. Sejak abad ke 5 Masehi pada masa Kerajaan Tarumanagara abad kea 8 Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke 14, Bekasi menjadi wilayah kekuasaan karena merupakan salah satu daerah strategis, yakni sebagai penghubung antara pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta).

Sejarah Sebelum Tahun 1949

Kota Bekasi ternyatamempunyai sejarah yang sangat panjang dan penuh dinamika. Ini dapat dibuktikan perkembangannya dari jaman ke jaman, sejak jaman Hindia Belanda, pundudukan militer Jepang, perang kemerdekaan dan jaman Republik Indonesia. Di jaman Hindia Belanda, Bekasi masih merupakan Kewedanaan (District), termasuk Regenschap (Kabupaten) Meester Cornelis. Saat itu kehidupan masyarakatnya masih di kuasai oleh para tuan tanah keturunan Cina.

Kondisi ini terus berlanjut sampai pendudukan militer Jepang. Pendudukan militer Jepang turut merubah kondisi masyarakat saat itu. Jepang melaksanakan Japanisasi di semua sektor kehidupan. Nama Batavia diganti dengan nama Jakarta. Regenschap Meester Cornelis menjadi KEN Jatinegara yang wilayahnya meliputi Gun Cikarang, Gun Kebayoran dan Gun Matraman.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, struktur pemerintahan kembali berubah, nama Ken menjadi Kabupaten, Gun menjadi Kewedanaan, Son menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa/Kelurahan. Saat itu Ibu Kota Kabupaten Jatinegara selalu berubah-ubah, mula-mula di Tambun, lalu ke Cikarang, kemudian ke Bojong (Kedung Gede).
Pada waktu itu Bupati Kabupaten Jatinegara adalah Bapak Rubaya Suryanaatamirharja.

Tidak lama setelah pendudukan Belanda, Kabupaten Jatinegara dihapus, kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester Cornelis menjadi Kewedanaan. Kewedanaan Bekasi masuk kedalam wilayah Batavia En Omelanden. Batas Bulak Kapal ke Timur termasuk wilayah negara Pasundan di bawah Kabupaten Kerawang, sedangkan sebelah Barat Bulak Kapal termasuk wilayah negara Federal sesuai Staatsblad Van Nederlandsch Indie 1948 No. 178 Negara Pasundan.

Sejarah Tahun 1949 sampai Terbentuknya Kota Bekasi

Sejarah setelah tahun 1949, ditandai dengan aksi unjuk rasa sekitar 40.000 rakyat Bekasi pada tanggal 17 Februari 1950 di alum-alun Bekasi. Hadir pada acara tersebut Bapak Mu’min sebagai Residen Militer Daerah V. Inti dari unjuk rasa tersebut adalah penyampaian pernyataan sikap sebagai berikut :

Rakyat bekasi mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi.
Rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi, dengan wilayah terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamatan (termasuk Kecamatan Cibarusah) dan 95 desa. Angka-angka tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan motto “SWATANTRA WIBAWA MUKTI”.

Pada tahun 1960 kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari Jatinegara ke kota Bekasi (jl. H Juanda). Kemudian pada tahun 1982, saat Bupati dijabat oleh Bapak H. Abdul Fatah Gedung Perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi kembali dipindahkan ke Jl. A. Yani No.1 Bekasi. Pasalnya perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya Kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi yang terdiri atas 4 kecamatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1981, yaitu Kecamatan Bekasi Timur, bekasi Selatan, Bekasi Barat dan Bekasi Utara, yang seluruhnya menjadi 18 kelurahan dan 8 desa.

Peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982, dengan walikota pertama dijabat oleh Bapak H. Soedjono (1982 – 1988). Tahun 1988 Walikota Bekasi dijabat oleh Bapak Drs. Andi Sukardi hingga tahun 1991 (1988 – 1991, kemudian diganti oleh Bapak Drs. H. Khailani AR hingga tahun (1991 – 1997).

Pada Perkembangannya Kota Administratif Bekasi terus bergerak dengan cepat. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan roda perekonomian yang semakin bergairah. Sehingga status Kotif. Bekasi pun kembali di tingkatkan menjadi Kotamadya (sekarang “Kota”) melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1996 Menjabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi saat itu adalah Bapak Drs. H. Khailani AR, selama satu tahun (1997-1998).

Selanjutnya berdasarkan hasil pemilihan terhitung mulai tanggal 23 Pebruari 1998 Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi definitif dijabat oleh Bapak Drs. H Nonon Sonthanie (1998-2003), Akhmad Zurfaih dan Moechtar Muhammad (periode 2003 – 2008), Mochtar Mochammad dan Rachmat Effendi (periode 2008-20013).
Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi, dengan wilayah terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamatan (termasuk Kec. Cibarusah) dan 95 desa. Angka-angka tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan motto “SWATANTRA WIBAWA MUKTI”. Pada tahun 1960 kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari Jatinegara ke Kota Bekasi (Jl. Ir. H Juanda). Kemudian pada tahun 1982, pada saat Bupati dijabat oleh Bapak H. Abdul Fatah gedung perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi kembali dipindahkan ke Jl. A. Yani No.1 Bekasi.

Pesatnya perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi yang terdiri atas 4 kecamatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1981, yaitu kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Utara, yang seluruhnya meliputi 18 Kelurahan dan 8 desa. Peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982, dengan walikota pertama dijabat oleh Bapak H. Soedjono. Tahun 1988 Walikota Bekasi dijabat oleh Bapak Drs. Andi Sukardi hingga tahun 1991, kemudian digantikan oleh Bapak Drs. H Khailani AR hingga tahun 1997.

Pada perkembangannya Kota Administratif Bekasi terus bergerak dengan cepat. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan roda perekonimian yang semakin bergairah. Sehingga status kotif Bekasi pun kembali ditingkatkan menjadi Kotamadya (sekarang “Kota”) melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1996.

AUSTRALIA MINTA MAAF PADA INDONESIA SOAL PENGHINAAN PANCASILA

Australia melalui Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Angus Campbell meminta maaf kepada Indonesia soal penghinaan Pancasila di sebuah pangkalan militer di Perth. Australia juga berjanji memberikan hukuman kepada semua personel militer yang terlibat dalam pembuatan materi ofensif yang menyinggung Indonesia.
Campbell mengatakan militer Australia menyampaikan “permintaan maaf dan penyesalan yang mendalam” kepada Indonesia.
Permintaan maaf Australia itu diterima Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo. Meski menerima permintaan maaf dari Australia, Jenderal Gatot belum memutuskan soal nasib kelanjutan kerjasama militer antara kedua negara.
Materi penghinaan Pancasila itu memicu kemarahan Jenderal Gatot pada awal Januari lalu. Materi itu ditemukan seorang instruktur bahasa Indonesia di sebuah kurikulum di Campbell Barracks, pangkalan militer Perth. Materi itu memelesetkan Pancasila menjadi “Pancagila”.
Selain itu juga ada materi soal seruan kemerdekaan bagi Papua Barat. Permintaan maaf pihak Canberra itu ramai dilansir sejumlah media Australia pada Kamis (9/2/2017) yang mengutip pernyataan dari militer Indonesia.
”Jenderal Gatot telah menerima permintaan maaf, dan menyadari bahwa di era persaingan global sekarang, persatuan dan persahabatan diperlukan bagi negara-negara tetangga, tanpa mengesampingkan perbedaan mereka,” tulis media Australia, abc.net.au.

Ketika Peraturan Menteri Membuat Gatot Nurmantyo Menjadi Panglima Tanpa Pasukan

Anggota Komisi I DPR Ahmad Muzani menilai ada kejanggalan atas Peraturan Menhan No.28 tahun 2015. Muzani menganggap aturan ini membuat Panglima TNI seolah tidak memiliki pasukan. 

Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menilai keluarnya Peraturan Menhan No 28 tahun 2015 membatasi kewenangannya untuk memantau alur perencanaan pembelanjaan barang di tiga matra. 

"Bayangkan seorang panglima tidak memiliki kendali atas apa yang akan dikerjakan oleh AD, AL, AU. Saya kira itu berarti sama saja panglima tanpa pasukan," kata Muzani di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/2).

Komisi I menyarankan agar Presiden Joko Widodo, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI duduk bersama membahas aturan ini agar koordinasi berjalan efektif dan tidak tumpang tindih. 

"Sebaiknya ini diselesaikan di tingkat kementerian oleh Presiden supaya koordinasi antara di Mabes TNI bisa berjalan efektif dan lebih baik lagi sehingga tentara kita bisa betul-betul dalam satu kendali," terangnya. 

Menurutnya, perlu adanya rapat harmonisasi untuk membicarakan poin-poin krusial dalam permenhan tersebut. Sebab, kata dia, Permenhan ini terkesan memberikan wewenang kepada Menteri Pertahanan untuk memangkas kewenangan Panglima TNI dalam mengatur kebutuhan dan anggaran tiga matra. 

"Perlu harmonisasi dibicarakan segala macam apa yang menyebabkan Peraturan Menteri itu kemudian muncul apa masalahnya dan seterusnya. Ini kan seperti Permen itu ujug-ujug," tegasnya. 

Untuk itu, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra menyarankan agar Permenhan tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pertahanan Negara itu ditinjau ulang. Langkah ini dinilai bisa memperbaiki hubungan antara Mabes TNI dan Kemhan. 

"Menurut saya itu sebaiknya ditinjau ulang. Kemudian dibicarakan lagi supaya kendali atas AD, AL, AU itu bisa lebih koordinatif lagi. Dan hubungan antara Mabes TNI dan Dephan baik. Sekarang ini sudah cukup baik," tandasnya. 

Senada dengan Muzani, Wakil Ketua Komisi I Meutya Hafidz mengatakan pihaknya telah mengagendakan rapat khusus terkait permasalahan yang dikeluhkan Panglima TNI itu. Akan tetapi Meutya meminta meminta Gatot dan Ryamizard untuk menyelesaikannya secara internal dulu.

"Komisi I lebih meminta kepada Menhan dan Panglima TNI untuk duduk bersama melakukan sinkronisasi peraturan-peraturan dan tidak boleh ada yang melanggar UU. Nanti kemudian dilaporkan kepada kami dan kita akan agendakan rapat khusus terkait itu," imbuhnya. 

Sebelumnya, Gatot mengatakan keluarnya peraturan Menhan No.28 tahun 2015 menghapus kewenangannya untuk memantau alur perencanaan pembelanjaan alutsista di masing-masing matra. Dengan Permenhan No.28 tahun 2015, kewajiban TNI hanya membuat perencanaan jangka panjang, menengah, pendek. 

"Untuk diketahui saya sebagai panglima sama dengan detasemen markas mabes. Saya tidak kendalikan AD, AL, AU. Mengapa? Pada UU 25/2004 mengatakan alur perencanaan visioner menggunakan mekanisme bottom up, top, down secara terpadu. Semua keputusan pertahanan sudah benar ketat sistematis," kata Gatot di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/2).

"Tapi begitu muncul peraturan Menhan No.28 tahun 2015 kewenangan saya tidak ada. Harusnya ini ada. Sekarang tidak ada. Kewajiban TNI membuat perencanaan jangka panjang, menengah, pendek," sambungnya. [ian]

sumber : merdeka.com

Misteri Pembantaian Ratusan Guru Ngaji NU oleh Pasukan Ninja di Banyuwangi 1998

REVUBLIK.com - Sepanjang tahun 1998, masyarakat NU di Jawa Timur, khususnya di Banyuwangi dan sekitarnya, mengalami kegetiran luar biasa. Di kantong-kantong NU di wilayah ini terjadi gelombang pembunuhan atas guru-guru ngaji NU.

Pembantaian tersebut memakai kedok “menghabisi dukun santet”. Para pembunuhnya adalah orang-orang misterius dengan berpakaian ninja.

Saat terjadi pemubunuhan berantai para guru ngaji NU ini, Presiden Soeharto baru saja lengser. Jabatannya sebagai presiden digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie, orang dekat Soeharto. Habibie juga menjadi orang nomor satu di ICMI, organisasi yang sejak awal didirikan telah dikritik oleh Ketua Umum PBNU saat itu, Gus Dur, namun tidak mewakili aspirasi kalangan Nahdliyin.

Gelombang pembunuhan berantai ini menimbulkan provokasi di kalangan msyarakat bawah NU. Tujuannya agar masyarakat melakukan tindakan kekerasan. Provokasi ini tidak berhasil secara baik.

Awalnya pembunuhan dilakukan terhadap dukun santet oleh orang-orang terlatih. Mereka bergerak cepat dari kampung ke kampung. Sang pembantai segera setelah itu menghilang. Tampak sekali para pembunuhnya adalah pasukan terlatih. Hanya ada dua kemungkinan, mereka yang terlatih adalah para jawara atau pasukan khusus militer.

Segera setelah itu, pembunuhan beralih terhadap guru-guru ngaji di kalangan Nahdliyin. Hal ini tentu menimbulkan keresahan, simpang siur, saling tegang, dan curiga di kalangan bawah NU. Atas kejadian getir itu, PWNU Jawa Timur membentuk Tim Investigasi PWNU. Tim ini diketuai oleh Choirul Anam. Tim melakukan investigasi berbulan-bulan untuk mengungkap kejahatan pembantaian atas para ngaji NU ini.

Data dan fakta yang berhasil dikumpulkan benar-benar menggetirkan. Korban tewas jumlahnya sangat fantastis, yaitu 253 orang. Mereka dibantai di desa-desa di tujuh kabupaten di Jawa Timur. Secara bergelombang pembantaian dilakukan di Banyuwangi, Jember, Situbondo, Bondowoso, Pasuruan, Pamekasan, dan Sampang. Korban tewas terbanyak ada di Banyuwangi, yaitu 148 orang.

Dalam temuan Tim, mereka yang mati dibantai secara sadis. Ada yang digantung, dijerat dengan tali, dibakar bersama rumahnya, dipukuli lalu dibacok, dibakar dengan bensin, dan dianiaya massa. Sebagian besar yang mati itu adalah para guru ngaji dan warga NU. Bahkan di antaranya ada pengurus ranting NU dan pengurus masjid.

Temuan penting lain dari Tim adalah adanya keterlibatan sejumlah pejabat setempat dalam pembunuhan berantai tersebut. Yang disebut-sebut adalah Bupati Banyuwangi T. Purnomo Sidik, Komandan Kodim Letnan Kolonel Subiraharjo, dan Kepala Polres Banyuwangi Letnan Kolonel Edy Moerdiono.

Salah satu bukti kuat yang ditemukan Tim adalah fotokopian radiogram Bupati yang ditujukan kepada para kepala desa. Radiogram ini dikirim lewat para camat di wilayahnya, tertanggal 10 Februari 1998, bernomor 300/70/439.0131/ 1998. Instruksi radiogram itu adalah agar aparat di bawah mendata orang-orang yang diduga berpraktik sebagai dukun santet. Hasilnya adalah adanya daftar mereka yang dianggap sebagai dukun  santet.

Daftar ini jatuh ke tangan khalayak umum. Daftar ini menjadi salah satu pemicu gelombang kekerasan yang berujung pada pembunuhan para guru ngaji. Jumlah korban melonjak drastis selama bulan Juli, Agustus, dan September 1998. Ada seratusan lebih korban, termasuk sejumlah guru ngaji dan ulama setempat.

Munculnya gelandangan dan orang gila misterius

Pada masa pembantaian ini muncul sekelompok gelandangan dan orang gila di penjuru kabupaten. Baik di desa maupun di kota. Para orang gila ini menunjukkan hal yang janggal seperti mampu menjawab dengan baik pertanyaan penanya, namun ketika ditanya mengenai asal-usulnya, mereka akan bertingkah seperti orang gila. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa orang-orang gila ini terlibat dalam peristiwa pembantaian. Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan menghilangnya orang-orang gila tersebut tanpa upaya apapun dari pihak berwenang saat pembantaian mulai mereda.

Para pelakunya sangat profesional dan bukan penduduk setempat. Pelakunya adalah orang-orang berpakaian ala ninja yang beroperasi secara rapi dan sistematis. Tim Investigasi PWNU menemukan provokatornya ternyata terdiri dari para


gerombolan preman dan bromocorah. Salah seorang yang pernah disebut Choirul Anam dalam memaparkan temuan investigasinya adalah Agus Indriawan. Ia adalah preman yang sehari-harinya berprofesi sebagai calo pengujian kendaraan bermotor di Kantor DLLAJ Banyuwangi. Kelompok Agus ini merekrut para pembantai yang berasal tidak hanya dari Banyuwangi. Ada yang datang dari Surabaya dan sekitarnya.
Laporan Tim Investigasi PWNU menyebutkan rekrutmen komplotan Agus dilakukan secara terencana dan rahasia. Para pembantai direkrut sebagai pembunuh bayaran. Uang imbalannya ada yang sebesar Rp 500.000 sampai Rp 1 juta. Di berbagai tempat, untuk memudahkan para pembantai melaksanakan tugasnya, komplotan itu memberikan rambu khusus. Setiap calon korban di sekitar rumahnya diberi tanda panah merah. Menandakan sang korban harus dibantai.

Ketika isu ini menghangat dan praktik-praktik pembunuhan terus terjadi, harian Republika (1 Oktober 1998) yang dekat dengan ICMI memuat berita sensasi. Koran ini menuduh orang-orang eks-Partai Komunis Indonesia (PKI) membayar orang-orang untuk membunuh sejumlah dukun santet di Banyuwangi. Padahal yang dibunuh adalah para guru ngaji NU, sehingga berita ini membuat penyesatan.

Spanduk-spanduk atas nama DDII yang didirikan orang-orang eks Masyumi bertebaran di berbagai jalan besar. Mereka menuduh dan mengingatkan munculnya bahaya komunis. Tuduhan ini sama dengan yang dilakukan militer. Saat itu militer menggunakan pola stigma komunis untuk menciptakan kesimpangsiuran dan mengalihkan siapa pelaku sebenarnya.

Dandim 0825 Banyuwangi Letkol (Inf.) Subihardjo dalam dialog masalah santet di Polres Banyuwangi pada 23 September 1998 mengemukakan hal yang sama. Bahkan Kepala Kepolisian RI mengatakan bahwa pola tindakan para pelaku pembantaian disusupi gerakan PKI. Di sini tampak adanya saling dukung analisis yang sangat sistematis.Analisis seperti itu tidak tidak dipakai oleh Tim Investigasi PWNU. Ketika diadakan penyelidikan lebih jauh ternyata ada beberapa anggota ABRI yang terlibat dalam pembantaian keji tersebut. Paling tidak ada dua oknum anggota ABRI yang diduga tersangka dalam pembantaian di Banyuwangi.

Majalah D&R edisi No. 017, 12 Desember 1998, juga mencatat keterlibatan empat oknum anggota ABRI. Sayangnya pihak ABRI membantah keterlibatan empat oknum tersebut. Melalui siaran pers pada 10 Oktober 1998 bantahan itu dilakukan. Padahal Kepala Direktorat Reserse Polda Jawa Timur telah memberi keterangan kepada pers pada 9 Oktober 1998 tentang penangkapan empat oknum ABRI. Jadi, kesan menutupi adanya keterlibatan anggota ABRI tampak terang.

Gus Dur sebagai Ketua PBNU benar-benar geram melihat kenyataan itu. Namun ia tetap hati-hati. Gus Dur menyerukan agar orang NU tidak sembrono menuduh ada penyusupan komunis meskipun hal itu telah dilontarkan dan provokasi oleh Republika dan dikampanyekan militer. Seruan Gus Dur kemudian dibacakan oleh KH Said Aqil Siradj di halaman Kampus UI, Salemba, Jakarta, pada 1 Oktober 1998.

KH Sad Aqil Siradj mengingatkan agar orang-orang NU tidak menjadi korban terus. Masyarakat NU jangan mau menjadi objek yang dihadap-hadapkan dengan sosok yang dibuat-buat. Padahal kenyataannya pelakunya sangat terlatih, bukan bayangan yang dibuat-buat. Seruan ini untuk mengritik tuduhan para pejabat dan harian Republika yang dekat dengan ICMI , serta spanduk-spanduk DDII. Mereka mengaitkan pembunuhan berantai itu dengan gerakan komunis.

Pada 14 Oktober 1998 tokoh-tokoh NU mengadakan rapat di Tuban yang diikuti lebih dari 2.000 kiai. Mereka bertemu dengan para pejabat kaamanan dari Jawa Timur. Para kiai langsung menghujani para pejabat. Mereka menyebut pejabat keamanan memberi dukungan dalam pembunuhan berantai guru ngaji NU itu.

Peristiwa ini kemudian menimbulkan sebuah analisis adanya operasi tertentu. Gus Dur setelah itu menyebut adanya Operasi Naga Hijau. Yang menjadi korban adalah warga NU bawah menjelang Pemilihan Umum 1999. Adanya penggunaan isu komunis dimaksudkan untuk menggilas orang-orang NU dan mengaduk-aduknya. Pengipasnya antara lain Republika dan spanduk-spanduk DDII yang memperoleh angin karena Habibie saat itu sedang menjadi presiden.

Kasus pembantaian para guru ngaji ini oleh Komnas HAM pernah hendak diselediki kembali. Pada 2007, ada niat untuk menjadikan kasus ini berindikasi kuat pelanggaran HAM. Tapi hasilnya tidak menunjukkan kemajuan apa pun. Kejahatan pembantaian atas para guru ngaji sampai sekarang diingat sebagai salah satu tragedi menggetirkan bagi warga NU, sekaligus menunjukkan penyelesaian yang tidak jelas atas kejahatan tersebut. (Nur Kholik Ridwan/NU.or.id)

Sumber : 

- NU.or.id

- Wikipedia : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_Banyuwangi_1998

KB FKPPI Anjang Sana ke Panti Asuhan

TRIBUNMANADO.CO.ID,TOMOHON - Keluarga Besar Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) Sulut menyambangi Panti Asuhan Sayap Kasih Woloan, Sabtu (4/2)

Keluarga Besar FKPPI memberikan sumbangan berupa pakaian, dan makanan kepada penghuni Panti Asuhan Sayap Kasih.

Secara simbolis sumbangan diserahkan langsung oleh Wakil Ketua FKPPI Sulut Syerly Adelyn Sompotan didampingi Presidium FKPPI Sulut Hendrik Sompotan
Ketua Pengurus Panti Asuhan Sayap Kasih mengucapkan banyak terima kasih kepada Keluarga Besar FKPPI Sulut yang sudah memberikan sumbangan kepada anak-anak di panti asuhan ini, juga terutama untuk Wakil Walikota Tomohon yang setiap bulannya memberikan sumbangan untuk Panti Asuhan Sayap Kasih.

Presidium FKPPI Sulut mengatakan, sangat senang bisa mengunjungi anak-anak panti asuhan Sayap Kasih
"Diharapkan sumbangan yang kami berikan dapat bermanfaat untuk anak-anak disini,”ujarnya.

Masih dalam rangkaian kegiatan yang sama dilanjutkan dengan ramah tamah di Rumah Dinas Wakil Walikota, hadir juga dalam ramah tamah ini Dandim 1302 Minahasa Letkol Inf Jubert Nixon Purnama. (ryo)

Penulis: Ryo_Noor
Editor: Andrew_Pattymahu
Sumber: Tribun Manado