Cari Blog Ini

Tabir Peristiwa Tambun Sungai Angke Tarumajaya, Rawagede-nya Bekasi

KALAU kita bicara tentang kekejaman serdadu Belanda di masa revolusi fisik (1945-1949), kebanyakan dari kita yang terbayang adalah peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan dan Rawagede di Karawang, Jawa Barat. Khusus insiden di Rawagede, kasusnya jadi besar setelah masuk ke pengadilan di Belanda.

Tapi tahukah Anda bahwa di pinggir Ibu Kota, tepatnya di Bekasi juga pernah terjadi pembantaian serupa seperti yang terjadi di Rawagede? Kejadian tepatnya ada di sebuah desa bernama Kampung Gempol, Bekasi Utara yang saat ini lebih dikenal dengan Kampung Tambun Sungai Angke.

Kampung itu berada di bawah wilayah administrasi Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Kisahnya bisa dibilang hampir setali tiga uang dengan yang terjadi di Rawagede.

Ceritanya tentara Belanda masuk kampung dengan alasan mencari gerombolan republik yang ujung-ujungnya pembantaian terhadap warga sipil. Hingga saat ini memang belum ada estimasi yang resmi tentang jumlah korbannya.

Jika di Rawagede setidaknya ada 431 warga yang dibantai Belanda, di Kampung Tambun Sungai Angke belum jelas berapa yang direnggut paksa nyawanya.

“Perkiraan yang tewas itu korbannya 200-300 orang. Seperti juga di Rawagede, yang dibantai di sini (Tambun Sungai Angke) hanya warga laki-laki,” ungkap penggiat sejarah Beny Rusmawan kepada Okezone.

Beny pula yang awalnya mengorek kisah kelam tentang sejarah yang tercecer dan luput dari catatan. Memang sudah ada setidaknya dua buku yang memaparkan sebuah insiden di utara Bekasi.

Salah satunya buku ‘Sejarah Perjuangan Rakyat Jakarta, Tangerang dan Bekasi dalam Menegakkan Kemerdekaan RI’ yang diterbitkan Disejarah Kodam V/Jaya. Sayangnya tak dijabarkan lebih jauh tentang peristiwa ini dan sekadar dibahas tak lebih dari dua lembar di halaman 148.

“Pada tanggal 16 Desember 1948 (Hari Rabu) serdadu-serdadu NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie. red) datang ke Kampung Tambun Sungai Angke dengan melalui tipuan yang sangat halus,” begitu keterangan di buku Kodam V/Jaya itu.

“Berdalih hari itu akan dilakukan pemilihan Lurah (Mandor) dan bertempat di sebuah warung di desa itu. setelah penduduk terkumpul, berdentumanlah peluru-peluru dari setiap senapan dan senapan mesin serdadu Belanda yang tengah mengurung warung tersebut, rakyat yang ada di dalam gugur semua,” lanjut kutipan di buku itu.

Penasaran, penulis pun bermotor menelusuri wilayah utara Bekasi yang juga bersinggungan dengan area Jakarta Utara itu dengan dipandu Beny Rusmawan. Setelah melewati jalan kecil yang hanya muat satu mobil di tengah-tengah pematang sawah, sampailah penulis di rumah seorang saksi hidup yang juga anak korban, di sebuah perkampungan yang masih asri dan tenang.

Rumahnya tepat di samping sebuah masjid besar dan gedung sekolah Yayasan Attaqwa 26. Kebetulan, halaman masjid yang dulunya masih sekadar musala itulah yang jadi lokasi pembantaian warga oleh serdadu NICA.

Penuturan Saksi Hidup Sekaligus Keluarga Korban

Adalah Hj Paisyah, salah satu saksi hidup yang juga anak dari salah satu korban peristiwa Tambun Sungai Angke yang terjadi empat hari jelang Agresi Militer II Belanda (19 Desember 1948). Darinya, sedikit banyak diketahui bagaimana situasi mencekam kala itu di sebuah petang hari.

Wanita yang sudah sepuh berusia sekira 75 tahun itu, mengisahkan bahwa pada 16 Desember 1948 sore, serdadu Belanda datang dan mengumpulkan warga di halaman musala. Disebutkan, akan diadakan pemilihan lurah setempat.

Tapi kemudian yang muncul justru deru senapan dan peluru yang muntah bertubi-tubi menembaki warga. Beberapa mencoba lari, tapi pasukan NICA sudah lebih dulu mengepung kampung itu dan menghabisi siapapun yang terlihat.

Mayat-mayat pun bergeletakan di jalan-jalan di kampung tersebut. Sementara Inun, ayah Paisyah yang saat kejadian berusia sekira 11 tahun, sempat kabur ke dalam rumah, “dieksekusi” di bawah bale atau tempat tidur kayu di kamarnya.

“Itu kejadiannya (pembantaian) kira-kira habis (waktu salat) Ashar. Yang ditembakin orang laki semua. Banyak yang ngegeletak (mayat) di jalanan. Bapak dibunuh di bawah bale pas ngumpet sama temannya yang lagi bertamu sebelumnya,” ungkap Paisyah berkisah pada Okezone dengan logat Betawinya yang kental.

“Dulu katanya dikumpulin Belanda orang lakinya, katanya mau ngumumin lurah baru. Tapi tiba-tiba langsung gerodok (menembaki) aja itu tentara Belanda. Saya sendiri ngumpet di belakang rumah. Bapak ngumpet di kolong bale, ditarik-tarik tentara Belanda, dia enggak mau keluar. Langsung aja ditembak dari atas tengkuknya,” imbuhnya.

Pembantaian acak terhadap warga laki-laki di atas usia 15 tahun itu pun berlangsung hingga gelap. Malam hari baru terhenti suara-suara tembakan. Tersisa warga perempuan dan anak-anak mereka dan mereka pula yang harus menguburkan jasad-jasad keluarga masing-masing.

Korban Dikuburkan Seadanya

“Ya kita-kita ini yang nguburin, cuma di sekitar rumah. Itu juga enggak dalam nguburnya. Udah kayak nguburin kucing aja gitu. Karena saking banyaknya mayat, makanya sampe sekarang dinamain (Kampung) Tambun Sungai Angke, karena banyak bangke-nya (mayat),” sambung Paisyah.

“Waktu mau nguburin, masih ada itu tentara Belandanya. Ada yang bilang: ‘Urusin (mayatnya) ya! Kalau enggak diurusin, saya balik lagi, mau nyari lagi (korban)’. Gitu katanya,” tuturnya lagi sambil matanya mulai berkaca-kaca.

Ada alasan tersendiri kenapa Belanda menggeruduk kampung ini. Kalau pembantaian di Rawagede, dikatakan kala itu pasukan Belanda dari unit Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Mayor Alphons Wijman, alasannya memburu salah satu ‘pentolan’ republik di Karawang, Kapten Lukas Kustaryo.

Nah kalau di Tambun Sungai Angke, disebutkan Ustad Saifulloh, salah satu cucu korban yang juga putra Hj Paisyah, Belanda mengira Kampung Tambun Sungai Angke yang saat kejadian bernama Kampung Gempol, acap dijadikan markasnya Laskar Hisbullah pimpinan KH Noer Ali.

“Itu yang juga jadi heran. Kampung-kampung yang lain itu aman-aman saja. Hanya kampung ini yang dimusuhin. Nah ada apa itu? Mungkin NICA pikir kampung ini markas Hisbullah pimpinannya KH Noer Ali,” timpal Ustad Saifulloh.

“Itu tentara Belanda datang 10-20 orang doang. Datangnya sore, situasinya saat itu juga gerimis. Mungkin memang kampung ini sudah diincar karena memang, ada salah satu rumah penduduk yang jadi tempat persinggahan Laskar Hisbullah,” tambahnya.

Diceritakan, penduduk itu juga katanya seorang “jawara” bernama Engkong (kakek) Kopang. “Jadi kalau malam (laskar) datang ke rumah Engkong Kopang. Sebelum Subuh pun biasanya sudah keluar (dari kampung). Itu yang mungkin jadi indikasi seolah-olah kampung ini jadi markas (Laskar) Hisbullah,” ujarnya lagi.

Sejumlah korban dikatakannya tidak hanya dikuburkan dekat rumah-rumah keluarga korban. Tapi juga sampai di dalam rumah, bahkan di dalam dapur. Beberapa lainnya berserakan dan tak ada yang mengenali.

“Sekitar tahun 1980an, sebagian (korban) yang dibantai di kampung ini, kalau yang kenal dan ada keluarganya saja makamnya dipindahkan ke tempat lain. Memang ada beberapa yang dipindah ke (Taman Makam Pahlawan) Bulak Kapal, Kota Bekasi sama tentara kita,” tandas Ustad Saifulloh.

Tapi tidak seperti di Rawagede atau di Padang atau tempat-tempat lain, tidak ada monumen, tidak ada pula pemakaman khusus para korban. Saat penulis di lokasi, tak ada pula penanda peristiwanya.

Hanya sekadar sedikit referensi buku yang diterbitkan Disjarah Kodam V/Jaya, serta kesaksian para keluarga korban.

Tidak ada komentar: