Posted by: Madina in Fikih, Khazanah
Oleh Abdul Moqsith Ghazali
Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Segala ritus peribadatan umat Islam biasanya dilangsungkan di dalam masjid. Pertanyaannya, bolehkah umat non-muslim masuk ke dalamnya misalnya untuk kepentingan yang bermanfaat dan maslahat untuk sebesar-besarnya umat manusia?
Semua agama memiliki tempat atau rumah ibadah. Jika umat Kristiani memiliki gereja, maka Islam memiliki masjid. Masjid pertama yang dibangun Nabi Muhammad Saw. adalah masjid Quba`. Hadits Bukhari dan Muslim menceritakan kebiasaan Nabi mengunjungi masjid ini pada setiap hari Sabtu yang selanjutnya diikuti Abdullah ibn Umar (Shahih Bukhari, hlm. 137, hadits ke 1191; Shahih Muslim, hlm. 342).
Setelah Masjid Quba`, Nabi mendirikan Masjid Nabawi di areal tanah yang biasa dijadikan tempat mengeringkan kurma milik dua anak yatim yang diempu As`ad ibn Zararah. Dua anak yatim itu adalah Suhail dan Sahil ibn `Amr. Kemudian tanah itu dibeli Nabi untuk dijadikan masjid. (Muhammad Husain Haikal, Hayât Muhammad, hlm. 183-184).
Masjid Nabawi selesai dibangun pada bulan April 623 M., sekitar tujuh bulan setelah hijrah.
Ketika masjid selesai dibangun, maka dibangunlah tempat kediaman Nabi persis bersebelahan dengan masjid. Ketika istri-istri Nabi meninggal dunia, maka pada zaman Khalifah Abdul Malik rumah-rumah Nabi itu disatukan dengan masjid.
Masjid Nabawi merupakan tonggak sejarah amat penting bagi Islam. Ia bukan hanya sebagai tempat melaksanakan shalat, melainkan juga sebagai medium dakwah dan pendidikan. Di masjid, Nabi menyampaikan wahyu dan mendidik umat Islam.
Masjid juga berfungsi sebagai tempat diskusi menyelesaikan persoalan umat. Masjid berfungsi sebagai tempat penampungan kelompok fakir dan miskin yang dikenal dengan sebutan ahl al-shuffat. Bahkan, Masjid Nabawi juga digunakan sebagai tempat menyusun strategi dan membangun diplomasi dengan dunia luar.
Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Jin (72): 18) bahwa masjid milik Allah (anna al-masajida lilla), dengan demikian ia tak bisa dimiliki oleh siapapun. Siapa saja boleh menggunakan masjid sejauh untuk tujuan kemaslahatan. Artinya, segala aktivitas yang berlangsung di dalamnya tak boleh melanggar prinsip-prinsip dasar ajaran Allah. Bahkan, ada hadits yang menyatakan, tak seluruh hal-ihwal yang dihalalkan bisa dilakukan di dalam masjid, seperti larangan berdagang di dalam masjid.
Nabi bersabda, “Apabila anda melihat seseorang menjual atau membeli sesuatu di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, semoga Allah tak memberikan keuntungan dalam perdaganganmu itu”. Pelarangan ini bisa dipahami, karena berjualan di dalam masjid bukan hanya akan mengganggu kekhusyukan, melainkan juga akan mengotori lingkungan masjid.
Begitu juga, masjid bukan tempat untuk mencaci maki dan memfitnah, karena melancarkan fitnah dari dalam masjid menyebabkan masjid terjauhkan dari umat. Masuk dalam pengertian ini adalah larangan memaki sesembahan umat agama lain. Allah berfirman dalam al-Qur’an, “Janganlah kalian memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, maka akibatnya mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS, al-An`âm [6]: 108). Dengan dalil ini, Nabi misalnya menghargai umat agama lain bahkan pernah mempersilakan umat Kristiani melakukan kebaktian di dalam masjid.
Alkisah, Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran yang berjumlah 60 orang. Di antara 60 orang itu, terdapat 14 orang dari kalangan pimpinan Kristen Najran. Mereka adalah Abdul Masih, Ayham, Abu Haritsah ibn Alqama, Aws, al-Harits, Zaid, Qays, Yazid, Nabih, Khuwaylid, `Amr, Khalid, Abdullah, dan Yuhannas. Rombongan dipimpin Abdul Masih, al-Ayham dan Abu Haritsah ibn Alqama. Abu Haritsah adalah seorang tokoh yang sangat disegani karena kedalaman ilmunya dan konon karena beberapa karamat yang dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar