Cari Blog Ini

“Konspirasi Sunyi(?)” Pansus DPRD Bekasi terkait Pipa Gas PGN di Tarumajaya dan Babelan (2)

Konsekuensi lainnya adalah munculnya solusi imajiner. Dalam kajian tentang hiperealitas, solusi imajiner ini adalah proses “menjadikan” sesuatu yang non empiris. Berbagai publisitas, loby, negosiasi menjadikan banyak pihak sulit membedakan antara yang nyata dan yang imajiner, sehingga pada akhirnya dunia kesan menjadi representasi pilihan. Sekian banyak perdebatan soal penolakan pipa gas bertekanan tinggi di jalur pemukiman yang diusung warga Tarumajaya dan Babelan menunjukkan, tak lebih dan tak kurang niat politik pencitraanlah yang ingin digapai. Para politisi membangun kesan dirinya bak Roobin Hood yang akan dikenang sebagai pahlawan kaum papa sehingga posisi mereka akan menguat.

Ketiga, fenomena penolakan pipa gas bertekanan tinggi di jalur pemukiman yang diusung warga Tarumajaya dan Babelan ini bisa saja merangsang persekongkolan elit politik lintas partai di DPRD Bekasi, pihak PT PGN, juga para tokoh masyarakat/kepala desa. Para elit bisa jadi melakukan dramaturgi. Benarkah terjadi semacam konspirasi sunyi atau grilya diam-diam di kalangan elit untuk saling menjaga kehormatan dan kepentingan politik masing-masing pihak? Riwayat konspirasi sunyi semacam ini pun sudah teramat biasa hadir dalam realitas politik DPRD dan juga “Kepala Desa/Tokoh Masyarakat”. Sehingga prilaku ini seolah lumrah dan apa adanya.

Tuna Rasa

Sekali lagi, kita mesti menggarisbawahi bahwa penggelaran pipa gas PT PGN yang bertekanan tinggi, melintasi pemukiman warga Tarumajaya dan Babelan, membahayakan warga dikarenakan adanya potensi kebocoran dan ledakan pipa gas. Penggelaran pipa gas PT PGN ini telah mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan di Tarumajaya dan Babelan. Bukan karena menolak program konversi energi, melainkan karena substansinya yang rawan mengundang sejumlah masalah lanjutan. Resistensi nyata ini seharusnya sudah bisa pahami dan dirasakan oleh para elit DPRD Bekasi yang terlibat dalam pansus. Jika tidak ada hasil rekomendasi pansus yang semestinya diterima oleh pengusul dan PT PGN terus melenggang, artinya mereka tak memiliki sense of public yang memadai alias tuna rasa dalam mendengar aspirasi masyarakat.

Politik tuna rasa ini biasanya ditandai dengan dua hal. Pertama, adanya arogansi opini elit. Bahwa suara kebenaran itu diposisikan berjalan vertikal dan linear dengan menempatkan suara elit di puncak hirarki. Sehingga seriuh apapun suara rakyat, hanya akan dianggap sebagai suara tidak signifikan. Akibatnya, para elit bertindak tidak dalam skema “dari-oleh-untuk” rakyat melainkan semata-semata untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka masing-masing.

Kedua, kuatnya pola mekanistik-traksasional dalam prilaku politik elit. Para elit melakukan persekongkolan secara sadar dan “berjamaah” dalam merancang, mengimplementasikan serta mengevaluasi sebuah program. Sekaligus rakyat menjadi objek potensial bagi transaksi-traksaksi absurd dalam konspirasi sunyi para elit tadi. Saatnya pembahas pansus penggelaran pipa gas PT PGN di Tarumajaya dan Babelan di DPRD kabupaten Bekasi kembali menyelami reaksi keras rakyat bukan terus berkutat dengan arogansi dirinya untuk masuk pada “safety zone.
Lazimnya, modus persekongkolan politik itu tak pernah dilakukan oleh aktor tunggal, melainkan dilakukan oleh satu stelsel aktif secara “berjamaah”. Kerap muncul esprit de corps dari para “pelaku” persekongkolan  dengan cara saling melindungi.  Tetapi biasanya, pertahanan mereka akan bobol dengan sendirinya, jika kekitaan di antara mereka tercerai berai akibat skenario penyelamatan diri masing-masing.

(bersambung)

》》》

Tidak ada komentar: