Menunut Muhammad ibn Ja’far ibn al-Zubair, ketika rombongan sampai di Madinah, mereka langsung menuju Masjid saat Nabi sedang melaksanakan shalat ashar. Mereka memakai jubah dan surban. Ketika waktu kebaktian telah tiba, mereka pun melakukannya di dalam masjid dengan menghadap ke arah timur. (Ibn Hisyam, al-Sîrat al-Nabawiyat, Juz II, hlm. 426-428). Melaui kisah ini ada ulama yang menyimpulkan bahwa non-muslim diperbolehkan memasuki masjid.
Ada beberapa pandangan para ulama yang bisa dijadikan bahan pegangan. Pertama, pendapat Abu Hanifah. Menurutnya, orang Yahudi dan orang Nasrani dibolehkan masuk masjid, termasuk Masjidil Haram. Abu Hanifah berpendapat, kebolehan masuk masjid itu tak hanya bagi orang Yahudi dan Nasrani, tetapi bagi seluruh umat non-Muslim yang menjalin hubungan baik dengan orang Islam. Menurut Abu Hanifah, sekalipun tak ada keperluan, orang kafir dzimmi dibolehkan masuk masjid. Sejarah menuturkan bahwa pada fase awal Islam, Ka’bah dan Masjidil Haram adalah rumah ibadah seluruh agama. Bahkan, orang Musyrik Mekah pun membangun patung-patung di sekitar Ka’bah.
Kedua, menurut Imam Syafi`i, sejauh memiliki kepentingan (hajat), orang non-Islam dibolehkan masuk masjid, kecuali Masjidil Haram di Mekah (Al-Qurthubi, al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân, Jilid IV, hlm. 450).
Ketiga, pendapat Muhammad Rasyîd Ridlâ: orang non-muslim boleh masuk masjid sekiranya orang Islam mengijikannya. (Muhammad Rasyîd Ridlâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz X, hlm. 255).
Keempat, pendapat Muhammad Fakhr al-Dîn al-Râzi: orang-orang non-muslim boleh masuk masjid, kecuali Masjidil Haram. Ia menyandarkan pendapatnya ini kepada sebuah ayat dalam al-Qur’an yang secara harfiah menyebutkan adanya larangan bagi orang-orang musyrik mendekati Masjidil Haram (Fakhr al-Dîn al-Râzi, Mafâtîh al-Ghaib, Jilid VIII, hlm. 27). Ayat tersebut berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini” (QS, al-Tawbah [9]: 28).
Pelarangan masuk Masjidil Haram ini kiranya hanya mengena kepada orang musyrik Mekkah yang terus melancarkan kebencian, memerangi dan menzalimi umat Islam. Dengan demikian, pelarangan ini bersifat kontekstual sehingga tak bisa dikatakan sebagai bersifat universal.
Penjelasan di atas menegaskan bahwa perkara non-muslim masuk masjid masih diperselisihkan para ulama. Namun, dalam konteks sekarang, di mana toleransi dan pluralisme semakin disadari umat beragama, tak sedikit para ulama Indonesia yang berpendirian bahwa pandangan Abû Hanîfah lebih tepat dijadikan patokan. Bahwa tidak ada masalah (boleh) bagi orang non Muslim untuk masuk masjid. Bahkan, jika untuk hajat yang penting, masuk masjid bukan hanya dibolehkan melainkan bahkan disunnahkan. Misalnya, menjadikan masjid sebagai tempat pelaksanaan dialog dan kerja sama agama-agama dalam mengatasi problem kemanusiaan seperti kemiskinan dan keterbelakangan.
Namun, jika hal itu dimaksudkan untuk tujuan negatif, misalnya untuk merusak dan menghinakannya, maka siapa pun tak bisa diperkenankan masuk masjid, karena itu adalah anarkisme dan kriminal. Dengan demikian, motif atau niat orang non-Muslim ketika masuk masjid menentukan status hukumnya.
Dosen Agama dan Filsafat di Universitas Paramadina dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar