Cari Blog Ini

Lukisan Maria dan Yesus di Dinding Ka'bah (2)

Al-Quran menekankan bahwa semua agama yang benar dan terbimbing berasal dari Allah, dan Muslim diwajibkan untuk mengimani wahyu-wahyu dari setiap kata para utusan Allah: Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa, dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri” (QS. 3:84). Dan, Yesus—yang juga disebut Mesiah—Sang Firman dan Roh Kudus—mempunyai status khusus.
Yesus, bagi al-Quran, mempunyai hubungan yang dekat dengan Muhammad, dan telah meramalkan kedatangannya (QS. 61:6), sama seperti para nabi Ibrani yang dipercaya oleh orang Kristen sebagai telah menubuatkan kedatangan Kristus. Al-Quran menolak bahwa Yesus telah disalibkan dan memandang kenaikannya ke surga sebagai pernyataan keberhasilan dari misi kenabiannya. Dengan cara yang serupa, Muhammad suatu ketika secara mistik naik ke Singgasana Tuhan. Di samping Muhammad, Yesus juga akan memainkan suatu peran yang sentral dalam drama eskatologis pada hari akhir.
Selama tiga abad pertama dari Islam, Muslim telah menjalin hubungan yang dekat dengan orang Kristen di Irak, Syiria, Palestina, dan Mesir, dan mulai mengoleksi ratusan riwayat dan perkataan yang berhubungan dengan Yesus; suatu koleksi yang tidak ada bandingannya di dalam agama non-Kristen manapun. Sebagian ajaran tersebut dengan jelas berasal dari Injil—terutama Khotbah di atas Bukit yang sangat populer tetapi ditampilkan dengan gaya Muslim. Yesus digambarkan melakukan ritual haji, membaca al-Quran, dan melakukan sujud dalam doanya.
Dalam riwayat-riwayat yang lain, Yesus mengartikulasikan secara terperinci apa yang menjadi perhatian Muslim. Dia telah menjadi salah satu teladan agung bagi para sufi Muslim, yang mengajarkan hidup sederhana, kerendahan hati, dan kesabaran. Kadang-kadang Yesus memihak satu kelompok dalam sebuah perselisihan teologis atau politis: membariskan dirinya bersama mereka yang mendukung kehendak bebas di dalam perdebatan mengenai takdir; memuji Muslim yang berdamai dengan prinsip politiknya (“Ketika para raja memberikan kebijaksanaan kepada kalian, maka sebaiknya kalian tinggalkan dunia untuk mereka”); atau mengecam para ulama yang melacurkan ajarannya demi keuntungan politis (“Janganlah kamu hidup dari Kitab Tuhan”).
Yesus telah diinternalisasi oleh Muslim sebagai teladan dan inspirasi dalam pencarian spiritual mereka. Muslim Syiah merasa bahwa ada suatu koneksi kuat antara Yesus dengan imam-imam mereka yang menerima ilham, memiliki kelahiran-kelahiran yang ajaib, dan mewarisi pengetahuan propetik dari ibu-ibu mereka. Para Sufi terutama mengabdikan diri mereka kepada Yesus dan menyebutnya sebagai “nabi cinta”. Mistikus ternama Abad ke-12 M, Ibn al-Arabi, menyebut Yesus sebagai “penutup orang-orang kudus”—secara sengaja disandingkan dengan Muhammad sebagai “penutup para nabi”.
Cinta Muslim kepada Yesus adalah contoh yang luar biasa dari cara bagaimana sebuah tradisi dapat diperkaya oleh tradisi yang lain. Ini tidak berarti bahwa orang-orang Kristen harus membayar pujian tersebut. Sementara Muslim mengoleksi riwayat-riwayat mereka mengenai Yesus, sarjana-sarjana Kristen di Eropa justru menghujat Muhammad sebagai seorang pemuja seks dan penipu ulung, yang sangat menyukai kekerasan. Namun, pada hari ini, baik Muslim maupun orang Kristen sama bersalahnya atas sikap fanatik semacam itu dan seringkali juga lebih suka untuk melihat hanya bagian terburuk dari satu sama lain.

Tidak ada komentar: