Tanggal 12 Mei 1998, gelombang demonstrasi mahasiswa dilakukan secara serentak oleh kampus-kampus yang ada di Jakarta dan beberapa perwakilan dari daerah.
Berawal dari keresahan akan kondisi ekonomi yang tidak menentu, serta ketidakpuasan masyarakat akan terpilihnya kembali presiden Soeharto untuk yang ketujuh kalinya secara aklamasi, gelombang demonstrasi dari golongan intelek serta sejumlah kerusuhan menjadi catatan kelam di akhir masa pemerintahan Orde Baru. Tewasnya empat orang mahasiswa Trisakti menjadi salah satu lembaran hitam yang masih harus disibak dan dimintai pertanggungjawabannya.
Demonstrasi Mahasiswa dan Kerusuhan Mei 1998
Mei 1998 merupakan titik balik masa kejayaan Orde Baru. Keputusan MPR untuk mengangkat kembali Presiden Soeharto dengan alasan kepemimpinannya masih dibutuhkan Indonesia di masa krisis moneter, menuai reaksi keras dari para elit politik yang kemudian diteruskan ke generasi intelek lainnya di kampus-kampus.
Bibit-bibit protes dan penolakan sebenarnya sudah lama tumbuh di tingkat lokal dan masih belum dianggap berbahaya oleh negara. Bibit-bibit ini menjadi api dalam sekam dan mulai tersulut sejak tanggal 4-8 Mei 1998, ketika pemerintah menaikkan harga minyak sebesar 70%-300% dan berimbas pada naiknya harga barang-barang pokok.
Di Medan – Sumatra Utara, masyarakat yang kalap mulai melakukan penjarahan. Inilah titik api pertama yang kemudian menjalar ke daerah-daerah lain. Keesokan harinya, tepatnya tanggal 9 Mei 1998, Jakarta pun mulai bergejolak.
Tragedi Trisakti
Tanggal 12 Mei 1998, gelombang demonstrasi mahasiswa dilakukan secara serentak oleh kampus-kampus yang ada di Jakarta dan beberapa perwakilan dari daerah.
Isi tuntutan demonstran adalah meminta agar pemerintah segera melaksanakan reformasi di berbagai bidang, khususnya reformasi politik, ekonomi, dan hukum. Mereka juga menuntut agar MPR segera melakukan sidang istimewa dan memberhentikan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
Di kampus Trisakti – Jakarta, sekitar 10.000 demonstran melakukan aksi damai dengan melakukan long march ke arah Gedung Nusantara. Aksi ini dihadang oleh Polri dan tentara militer yang berjaga di lokasi tersebut.
Beberapa mahasiswa dan dosen melakukan negosiasi, namun tidak berhasil. Para negosiator pun berhasil membujuk pada demonstran untuk tidak melanjutkan long march, sehingga akhirnya berbalik dengan damai ke arah kampus dengan diikuti oleh pasukan aparat keamanan.
Sekitar pukul 17.00, terjadi provokasi yang menyebabkan aparat keamanan yang berjaga menembakkan peluru ke arah mahasiswa dan melemparkan puluhan gas air mata ke dalam gedung-gedung kampus.
Kepanikan terjadi dan mahasiswa berlarian menyelamatkan diri. Korban pun berjatuhan. Pukul 20.00 didapati 4 orang mahasiswa tewas dan puluhan mahasiswa terluka dalam insiden berdarah tersebut.
Empat mahasiswa yang tewas tertembak peluru tajam di kampus biru tersebut adalah:
Elang Mulia Lesmana (1978 – 1998), mahasiswa jurusan arsitekturHeri Hertanto (1977 – 1998), mahasiswa Trisakti jurusan teknik industri Hafidin Royan (1976 – 1998), mahasiswa Trisakti jurusan teknik sipilHendriawan Sie (1975 -1998), mahasiswa Trisakti fakultas ekonomi
Setelah tragedi berakhir, saling tuding pun terjadi di antara elit militer tentang siapa yang bertanggung jawab dan mengeluarkan perintah tentang penembakan tersebut.
Hingga saat ini belum ada titik terang mengenai tragedi ini. Dan upaya pengusutan hanya berupa wacana dan seremonial belaka. Pihak keluarga pun masih menanti keadilan, entah sampai kapan.
Chaos yang disusul dengan Pengunduran Diri Presiden Soeharto
Kembali ke insiden bulan Mei 1998. Terbakar amarah mendengar tragedi yang terjadi di Trisakti, demonstrasi pun meluas hingga ke daerah-daerah. Para pendemo mengepung dan menduduki gedung-gedung perwakilan rakyat yang ada daerah dan melakukan sweeping terhadap aset, bahkan pegawai-pegawai pemerintahan.
Berbagai kerusuhan semakin menjalar, khususnya di Ibu kota Jakarta dan di kota Solo. Toko-toko dibakar dan dijarah. Di kawasan Klender – Jakarta Timur, pembakaran pusat pertokoan bahkan memakan korban hingga 1000an orang. Aksi-aksi kekerasan terjadi di banyak tempat, dan warga Indonesia keturunan Tionghoa banyak yang menjadi korbannya.
Hal ini menimbulkan ketakutan dan sempat melumpuhkan kehidupan masyarakat. Tidak sedikit warga, khususnya keturunan Tionghoa, yang memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia.
Di tanggal yang sama, 13 mei 1998, Presiden Soeharto yang saat itu sedang melakukan lawatan pertamanya ke Mesir untuk mengikuti pertemuan G-15, memutuskan untuk mempercepat kunjungannya dan segera kembali ke Indonesia.
Sebelum tiba di Indonesia, Soeharto pun sudah menyatakan kesiapannya untuk mengundurkan diri sebagai presiden RI. Hal tersebut disampaikannya kepada masyarakat Indonesia yang berada di Kairo.
Setibanya di tanah air, pada tanggal 14 Mei – 20 Mei 1998, Presiden Soeharto melakukan konsolidasi dengan berbagai elemen, mulai dari menteri-menterinya di kabinet, ulama dan tokoh agama, ahli-ahli hukum tata negara, serta elemen masyarakat lainnya untuk membahas kondisi Indonesia dan langkah-langkah politik yang harus diambil.
Namun masyarakat semakin tidak sabar. Jalur-jalur distribusi ekonomi terputus akibat penjarahan, calon-calon investor menarik diri, dan puncaknya ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR pada tanggal 19 Mei 1998.
Tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya dan menunjuk wakil presiden B.J. Habibie sebagai penggantinya.
Mundurnya Soeharto merupakan jalan baru bagi transisi demokrasi Indonesia yang mengalami stagnansi selama lebih dari 30 tahun. Negara yang selama ini terlihat tenteram ternyata menyimpan banyak kegundahan.
Walau tidak dari nol, Indonesia harus mulai membangun lagi. Tragedi Mei 1998 menyisakan kondisi yang carut-marut, keterpurukan ekonomi, pelanggaran HAM, dan hilangnya kepercayaan Internasional terhadap Indonesia.
Dengan dikawal oleh masyarakat yang semakin cerdas dan kritis, berbagai langkah reformasi pun dilakukan oleh para pemegang kebijakan untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, termasuk di dalamnya mencari dalang kerusuhan berdarah yang menyulut chaos yang terjadi di bulan Mei 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar