“Tidak benar kalau ada yang mengaku di bulan Agustus 1945 memiliki kesatuan bersenjata. Yang ada pada waktu itu hanya pasukan-pasukan Polisi Istimewa pimpinan M. JASIN, bahkan ia menyatakan bahwa tanpa peran pasukan pasukan Polisi Istimewa dibawah pimpinan M. JASIN tidak akan ada peristiwa 10 Nopember 1945.”
Demikian ungkapan tegas Jenderal TNI AD SUDARTO ex. TRIP dan pelaku 10 Nop 1945. Ungkapan tersebut dikeluarkan karena pada awal Agustus 1945 hanya Polisilah organisasi yang relatif lengkap dan terorganisir serta satu-satunya kesatuan yang masih memegang senjata pada masa itu.
Karena kesatuan bersenjata pada awal kemerdekaan masih belum terbentuk maka Polisi diberikan tugas untuk menjaga keamanan Republik Indonesia yang baru lahir ini. Untuk mengukuhkan kedudukan Kepolisian di Indonesia tersebut, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945, memasukkan Kepolisian dalam lingkungan Departemen Dalam negeri yang diberi nama Badan Kepolisian Negara (BKN).
Karena keberadaan organisasi Polisi telah ada di awal kemerdekaan Indonesia sedangkan kesatuan bersenjata lainnya belum terbentuk maka pelak saja membuat DR. H. Ruslan Abdulgani eX TRIP mengatakan bahwa "Pasukan Polisi Istimewa lahir lebih dulu dari yang lain".
Kepolisian yang menjadi satu-satunya kesatuan yang memiliki senjata di awal kemerdekaan Indonesia bukanlah tanpa sebab. Hal ini karena setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, penguasa Jepang di Indonesia membubarkan tentara PETA dan Heiho, sedangkan senjata mereka dilucuti.
Hal ini dilakukan Jepang karena setelah kalah perang, tentara Jepang di Indonesia mendapat perintah dari Sekutu untuk menjaga satus quo sampai kedatangan Sekutu di Indonesia.
Pelucutan senjata PETA oleh Jepang sangat disayangkan oleh Soetamo (Bung Tomo), pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang juga salah satu pejuang terkemuka dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, yang menyatakan :
“PETA diharapkan dapat mendukung perjuangan di Surabaya tahun 1945 , tetapi PETA membiarkan senjatanya dilucuti oleh Jepang, untung ada Pemuda M. Jasin dengan pasukan-pasukan Polisi Istimewanya yang berbobot tempur mendukung dan mempelopori perjuangan di Surabaya.”
- Soetomo (Bung Tomo)
Setelah melucuti tentara PETA dan Heiho, Tentara Jepang juga memerinahkan Kepolisian Indonesia untuk menyerahkan senjatanya namun secara tegas ditolak. Malah kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, untuk membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun organisasi-organisasi pejuang tanah air secara bersama melakukan pelucutan senjata tentara Jepang yang kalah perang.
Di Kota Surabaya tempat terjadinya Hari Pahlawan, Polisi pernah melaksanakan“Proklamasi Polisi” Dalam ejaan lama yang berbunyi :
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”.
Soerabaja, 21 Agoestoes 1945
Atas Nama Seloeroeh Warga Polisi
Moehammad Jasin – Inspektoer Polisi Kelas I
Proklamasi Polisi itu merupakan suatu tekad anggota Polisi untuk berjuang melawan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap, walaupun sudah menyerah. Proklamasi itu juga bertujuan untuk meyakinkan rakyat bahwa Polisi adalah aparat negara yang setia kepada Republik Indonesia yang berjuang bersama rakyat dan bukanlah alat penjajah.
Segera setelah itu, Polisi Istimewa bersama-sama rakyat menyerbu seluruh gudang-gudang senjata tentara Jepang. Tentara Jepang yang amat terdesak akhirnya menyerah dan harus menandatangani perjanjian penyerahan senjata dengan M. Jasin sebagai wakil dari pihak Indonesia untuk menjamin keselamatan jiwa tentara Jepang yang menyerah.
Dalam pertempuran-pertempuran melawan tentara Jepang, Abdul Radjab ex TRIP, pelaku 10 Nopember 1945, menyatakan :
“Pasukan-pasukan Polisi Istimewa bertempur melawan Tentara Jepang dengan gagah berani”
Pada suatu waktu setelah tembak-menembak yang sengit dan menelan korban jiwa, M. Jasin yang bersama Soetomo (Bung Tomo) yang mewakili pihak Indonesia berhasil menandatangani perjanjian penyerahan senjata untuk membuka gudang Arsenal tentara Jepang yang terbesar se-Asia Tenggara di Don Bosco-Sawahan, Surabaya.
Berkaitan dengan kejadian pelucutan senjata tentara jepang tersebut, Jenderal TNI Muhammad Wahyu Sudarto – Pelaku 10 November 1945, menyatakan:
“Saya hanyalah bagian dari sejarah perjuangan tanah air. Itu pun Cuma di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Sebetulnya pada “Peristiwa Surabaya” ada tokoh yang lebih hebat tetapi di mana kini tidak banyak yang kenal. Namanya Moehammad Jasin, orang Sulawesi Selatan. Jika beliau tidak ada, Surabaya tidak mungkin seperti sekarang. Beliau adalah Komandan Pasukan Polisi Istimewa. Kalau tugas Bung Tomo adalah “memanas-manasi rakyat”, Pak Jasin ini memimpin pasukan tempur.
Kesatuannya boleh dibilang kecil, cuma beberapa ratus orang saja. Itu sebabnya mereka bergabung dengan rakyat. Kalau rakyat sedang bergerak, di tengah-tengah selalu ada truk atau panser milik Pasukan Polisi Istimewa lengkap dengan senjata mesin. Melihat Rakyat bak gelombang yang tak henti-henti itu, Jepang yang waktu itu sudah kalah dari Pasukan Sekutu menyerah kepada RI dan intinya adalah Pak Jasin.
Demikian pula kala Inggris (Sekutu) mendarat di Surabaya. Bila tidak ada Pak Jasin, arek-arek Suroboyo tidak bisa segalak itu. Pasukan Inggris datang pertama kali dengan satu brigade pada 28 Oktober 1945. Namun, setelah mereka terdesak, secara bertahap mendarat lagi empat brigade”
(JENDERAL TNI MUHAMAD WAHYU SUDARTO – PELAKU 10 NOVEMBER 1945)
Senjata Rampasan yang direbut dari tentara Jepang tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat dan pemuda dalam organisasi perjuangan. Segera setelah itu, Surabaya dibanjiri senjata api dari berbagai jenis yang digunakan untuk menghadapi pasukan Inggris dan Belanda pada peristiwa Hari Pahlawan.
Berdasarkan hal tersebtu Jendral (TNI) Tri Sutrisno, Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam pidato peresmian Monumen Perjuangan Polisi Republik Indonesia di Surabaya pada tanggal 2 Oktober 1988 menyampaikan,
“Tindakan Inspektur I Moehammad Jasin untuk mempersenjatai Rakyat Pejuang telah memberikan andil yang cukup besar dalam gerak maju para pejuang kemerdekaan di Surabaya, yang kemudian mencapai puncaknya dalam pertempuran heroik di Surabaya tanggal 10 Nopember 1945”.
Pada kesempatan yang sama Pangab RI, Jenderal (TNI) Tri Surtrisnomenyampaikan, “Kekuatan Pasukan Polisi Istimewa pimpinan M. Jasin harus dikaji oleh seluruh bangsa Indonesia.”
Selain mempersenjatai rakyat pejuang, Polisi Istimewa juga melakukan gerakan pembinaan kemiliteran dan pelatihan tempur untuk menghadapi pasukan sekutu. Hal ini secara langsung sangat berpengaruh hingga tersusunnya kesatuan-kesatuan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dari gerakan pembinaan kemiliteran dan pelatihan tempur tersebut membuatJenderal TNI / AD Sukanto Sayidimanmenyatakan, "Pak Jasin dan Pasukan Polisi Istimewa adalah guru dan pelatih kami."
Kepeloporan Polisi Istimewa di Surabaya tersebut juga membuat DR. H. Ruslan Abdulgani mengatakan, “M. Jasin dan Polisi Istimewa yang dipimpinnya adalah modal pertama perjuangan di Surabaya.”
Pernyataan itu menunjukkan bahwa jika pertempuran itu berlangsung tanpa dukungan dan kepeloporan Pasukan Polisi Istimewa, niscaya patriotisme perjuangan rakyat di Surabaya tidak akan seheroik apa yang tercatat dalam sejarah.
Namun entah mengapa peran Polisi tersebut tidak pernah diungkit-ungkit dalam sejarah hari Pahlawan. Padahalkepeloporan Polisi Istimewa pada 10 November 1945 bahkan membuatJenderal (TNI) Moehammad Wahyu Soedarto, seorang tokoh yang terlibat dalam persitiwa heroik hari pahlawan, berani mengatakan bahwa “Tanpa peran M. Jasin dan Pasukan Polisi Istimewa tidak akan ada peristiwa 10 November.”
Keterlibatan M. Jasin sebagai pasukan Polisi Istimewa dalam peristiwa heroik hari pahlawan jelas tidak diingkari oleh semua tokoh pejuang yang terlibat. Bahkan seorang Jenderal TNI AD, Abdul Kadir Besar SH, juga menyatakan, “Saya berani mempertanggungjawabkan pemberian kedudukan bagi Moehammad Jasin sebagai Singa Pejuang Republik Indonesia berdasarkan jasa-jasanya.”
Kehebatan Pasukan Polisi Istimewa dalam kancah perjuangan Surabaya bukan hanya dikagumi kawan tapi juga disegani oleh lawan. Hal ini terdapat dalam pernyataan resmi dari Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (Ministerie van Onderwijs en Wetenschappen) Pemerintah Belanda, oleh Van der Wall,
“De Poelisi Istimewa, de gewezen Poelisi Istimewa guderende de Japanse tijd, onder leiding van M. Jasin is niets anders dan een Militaire strijd kracht.” (Polisi Istimewa, Mantan Polisi Istimewa diwaktu Jepang, pimpinan M. Jasin tidak lain adalah satu kekuatan tempur militer).
Begitu hebatnya para pendahulu POLRI jangan sampai kita melupakan perjuangan POLRI di awal kemerdekaan RI tersebut sebagaimana kata mendiang Bung Karno,"Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (Jasmerah)".
Perjuangan para Pendahulu POLRI ini juga harus menjadi teladan bagi generasi-generasi POLRI selanjutnya dan saat ini dengan terus memohon petunjuk dan bimbingan Allah SWT dalam melanjutkan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Sumber :
Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang
Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar